Saya begitu menyukai air terjun. Pancaran airnya yang melimpah jatuh ke bawah adalah sebentuk keperkasaan alam yang indah. Biasanya, ada hiasan penuh kehijauan di sekitarnya yang memanjakan mata. Salah satu keajaiban alam yang pernah saya kunjungi itu adalah Air Terjun Jumog, Karanganyar, Jawa Tengah.
Sebelumnya, saya mengira bahwa primadona wisata berupa air terjun di Karanganyar itu hanya Air Terjun Grojogan Sewu di Kecamatan Tawangmangu. Padahal, selain Grojogan Sewu, ada juga Air Terjun Jumog yang tidak kalah eksotisnya. Ya, keduanya sama-sama terletak di kaki Gunung Lawu. Air Terjun Jumog pun merupakan wisata andalan Karanganyar, kabupaten berhawa dingin yang masuk dalam wilayah Solo Raya itu.
Surga yang Sempat Tersembunyi
Alangkah senangnya ketika kakak ipar mengajak saya sekeluarga untuk mengunjungi Air Terjun Jumog, saat kami mudik ke Solo beberapa waktu yang lalu. Setelah berunding sejenak, kami memutuskan untuk naik sepeda motor secara rombongan menuju kawasan air terjun yang terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso tersebut.
Kami berangkat sekitar jam tujuh pagi dari arah Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Dengan kecepatan sedang, kami harus menempuh jarak sekitar 38 kilometer ke arah timur. Jalanan tidak terlalu padat saat kami sampai ke Jalan Raya Solo-Tawangmangu. Suami saya mengikuti kakak ipar yang membelokkan motornya ke arah Jalan Lawu, terus ke timur menuju Jalan Karangpandan.
Sejuknya udara mulai terasa. Berbeda sekali dengan hawa Kota Solo yang panas. Ah, saya begitu menikmatinya. Sampai saya tidak menyadari bahwa kami sudah memasuki area parkir di kawasan wisata Air Terjun Jumog. Sekitar satu jam sepuluh menit ternyata waktu perjalanan kami.
![]() |
Ucapan selamat datang di Air Terjun Jumog (dok.pribadi) |
Banyak pengunjung lain yang juga bersiap memasuki kawasan wisata yang dibuka mulai jam delapan pagi itu. Maklum, libur lebaran. Seusai membayar biaya parkir sebesar Rp 2.000, kami membeli tiket masuk yang harganya Rp 5.000 per orang. Sebuah harga yang cukup murah untuk menikmati sebuah surga yang pernah tersembunyi.
The Hidden Paradise, begitulah Air Terjun Jumog dijuluki. Sebabnya, dulu keindahan air terjun tersebut tertutupi oleh rerimbunan semak. Atas inisiatif warga Desa Berjo, semak-semak tersebut disiangi untuk membuka jalan. Pada tahun 2004, Air Terjun Jumog mulai dikenal luas karena sudah dibuka untuk umum di bawah pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Berjo.
Antara Kebanggaan Negeri dan Filosofi
Setelah melewati pintu masuk, kami disambut oleh pemandangan sungai kecil jernih di sebelah kanan yang bersumber dari aliran air terjun. Tampak pula deretan stand penjual makanan yang berjajar rapi. Rupanya mereka adalah pelaku UKM binaan BUMDes Berjo. Saya mengedarkan pandangan dengan kagum karena kawasan wisata tersebut cukup terjaga kebersihannya.
![]() |
Aliran sungai yang berasal dari air terjun (Sumber: IG @nyk_wisata) |
Kami meneruskan langkah menuju arah air terjun. Karena membawa anak-anak, kami memilih melewati jalur bawah yang lebih landai. Sedangkan jalur atas lebih menantang karena para pengunjung harus menuruni sebanyak 116 anak tangga. Wah, sehatnya!
Terus melangkah ke atas, kami berbaur dengan para pengunjung lain yang hilir mudik. Beberapa diantara mereka bermain di aliran sungai kecil berbatu-batu. Ada juga yang duduk-duduk di atas tikar yang digelar di sepanjang pinggir sungai. Warung-warung tenda di sebelah kanan adalah jawaban jika ada pengunjung yang tidak sempat sarapan.
Saya sendiri cukup terhibur karena pepohonan rindang memayungi di kiri dan kanan. Udara yang sejuk membuat peluh tak sempat menggerahkan tubuh. Semakin lama, jaraknya semakin dekat. Dalam pandangan saya, air terjun lukisan Tuhan itu seakan melambaikan tangan.
![]() |
Air Terjun Jumog dari dekat (dok. pribadi) |
Daaan… inilah Air Terjun Jumog yang tingginya mencapai 30 meter itu. Cantik sekaligus gagah. Ah, susah mendeskripsikannya. Saya kira, air terjun ini tidak hanya menjadi kebanggaan Karanganyar dan Jawa Tengah saja. Ya, inilah salah satu perwujudan Wonderful Indonesia.
Saya bertasbih, lalu menengadahkan wajah dan memejamkan mata. Terasa titik-titik air memercik, seakan memberikan pijatan lembut pada wajah saya. Sementara itu, anak saya dan para sepupunya berteriak riang di dekat kaki saya. Tak mau kalah, suami saya pun berbasah ria bersama para kakak ipar.
![]() |
Berdekatan dengan Jumog (dok. pribadi) |
Saat itulah tiba-tiba saya berpikir tentang sebuah filosofi air terjun. Sebuah filosofi yang di kemudian hari saya sisipkan dalam novel perdana saya, The Fear Between Us.
“Air terjun baginya selalu memesona.
Meski ia terlihat tinggi,
justru pesonanya karena ia tak pernah lupa untuk mengaliri dan berbaur
dengan air di bawahnya.
Ia memang selalu terjatuh dari atas,
tapi ia tak bosan menjatuhkan dirinya
demi sebentuk keindahan.”
(The Fear Between Us, halaman 40)
Alangkah indahnya perangai manusia Indonesia jika dia bisa seperti air terjun itu. Setuju?
Kolam Renang Alami dan Sate Kelinci
Puas menikmati kedekatan dengan Air Terjun Jumog, kami turun lagi ke bawah. Kami kembali berbaur dengan arus pengunjung yang sepertinya semakin banyak. Terlihat ada sebuah jembatan mungil yang membelah sungai kecil berair jernih yang saya sebutkan di awal tadi. Orang-orang tampak bergantian meniti jembatan mungil itu dan berfoto di sana.
![]() |
Jembatan kecil, spot foto favorit di Jumog (Sumber: IG @nyk_wisata) |
Kakak ipar saya mengajak kami ke arah kolam renang, waktunya anak-anak bersenang-senang. Ya, di sana ada kolam renang yang airnya bersumber langsung dari Gunung Lawu. Brrr… airnya dingin. Tapi anak-anak tampak riang menceburkan diri di sana.
![]() |
Anak saya riang bermain di kolam renang |
Sambil menunggu anak-anak, kami membeli penganan kecil yang dijual para pedagang lokal di sana. Ada cilok, gorengan, beraneka keripik, dan lain-lain. Ya, keberadaan kawasan wisata ini memang turut meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Setelah anak-anak puas berenang dan membilas diri di kamar mandi yang tersedia, kami bersama-sama menuju deretan warung sate. Hari sudah siang, perut pun keroncongan. Hmm… sedap! Ada Sate Ayam dan Sate Kelinci yang merupakan kuliner khas di daerah itu. Tinggal pilih saja. Harganya pun cukup terjangkau yaitu Rp 10.000 per porsinya.