“Ada pesawat jatuh,” ujar ibunda saya sore tadi. Beliau baru saja mampir ke warung sebelah rumah.
Telinga saya seperti disentil sesuatu. Saya tidak menyalakan televisi seharian. Pun tidak membuka laman media daring, jadi tidak tahu tentang peristiwa itu. Padahal para tetangga sudah heboh membicarakannya.
Saya bergegas menyalakan televisi, memilih sebuah channel yang biasanya menayangkan breaking news. Tepat dugaan saya. Channel televisi itu sedang menayangkan berita kecelakaan pesawat Lion Air JT 610. Pesawat naas itu jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, dalam perjalanannya menuju Pangkal Pinang. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Tiba-tiba saja ada degupan aneh di dalam dada saya. Sedih yang tidak biasa. Entahlah. Selalu begitu jika ada berita tentang tragedi kecelakaan pesawat. Tentu saja saya juga akan berduka terhadap berita atau kecelakaan yang terjadi pada moda transportasi yang lain. Tapi, berita kecelakaan pesawat itu ‘sesuatu’ sekali buat saya.
‘Sesuatu’ itulah yang pernah menggerakkan jemari saya untuk merangkai cerita. Ya, novel perdana saya, The Fear Between Us, berkisah tentang Aviophobia yang menjangkiti tokoh utamanya, Dania.
Saat Kita Dilanda Ketakutan untuk Terbang
Ada banyak jenis phobia yang diketahui orang. Salah satu di antaranya adalah aviophobia atau rasa takut terhadap pesawat terbang. Takut untuk menaikinya, pastinya. Aviophobia bisa digolongkan dari sekadar gemetaran sampai kepada menolak sama sekali untuk menaiki pesawat terbang.
Saya pernah membaca kisah seseorang yang begitu gugup begitu kakinya menginjak lantai bandar udara. Keringat dinginnya bercucuran, perut pun mendadak mulas, dan ada keinginan untuk buang air kecil secara terus menerus.
Saat sudah berada di dalam pesawat, dia merasa bahwa dirinya sedang tidak berada di tempat duduk. Ada sedikit saja turbulensi atau guncangan, dia merasa bahwa malaikat maut sedang bersiap mencabut nyawanya. Benar-benar sebuah rasa takut yang membuatnya tidak nyaman.
Sedangkan seseorang yang benar-benar memiliki ketakutan yang akut, akan lebih memilih menaiki moda transportasi yang lain. Others or not at all. Ibaratnya, lebih baik menempuh jarak yang lebih jauh dengan menaiki kapal laut daripada harus naik pesawat terbang.
Aneh? Tentu saja tidak. Begitulah aviophobia.
Pemicu Timbulnya Aviophobia
Di dalam The Fear Between Us, saya menyebutkan penyebab utama aviophobia yang melanda Dania. Saat dia masih duduk di bangku SMP, dia akan diajak berlibur oleh bibi dan pamannya ke Sulawesi. Tapi rencana itu gagal karena pada hari-H, Dania jatuh sakit.
Bibi dan pamannya tetap memutuskan untuk pergi dengan menaiki pesawat. Takdir mencatat sebuah peristiwa menyedihkan kemudian. Pesawat yang ditumpangi keduanya mengalami kecelakaan dan tidak ada satupun penumpang yang selamat. Dania begitu sedih dan terguncang.
Selanjutnya, ia benar-benar menolak untuk menaiki pesawat terbang. Jika harus ke rumah kakaknya di Jakarta, dia memilih jalan darat atau memilih tidak berangkat. Saat ada berita tentang kecelakaan pesawat, dia akan memilih menutup mata dan telinganya rapat-rapat.
Hehe, sedikit saja cuplikannya, ya. ^^ Kesimpulannya, orang yang near miss atau hampir mengalami sebuah kecelakaan pesawat berpotensi besar mengalami trauma, lalu berujung pada aviophobia. Begitu juga jika ada kerabatnya yang pernah menjadi korban kecelakaan pesawat.
Tidak hanya mereka, kita sebagai pemirsa bisa ikut terjangkit, lho. Maka jika ada kejadian pesawat jatuh, sebaiknya kita mengkonsumsi beritanya secukupnya saja. Terutama bagi mereka yang pada dasarnya mempunyai ‘bibit’ gugup seperti yang saya sebutkan di atas.
Sebuah penelitian berjudul Media’s Impact on People’s Anxiety Level Toward Air Travel menampilkan hasil tingkat kecemasan sejumlah 260 responden. Penelitian tersebut diterbitkan oleh University of Massachusetts Amherst pada tahun 2010.
Responden dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelompok pembaca artikel di media daring, menonton video, dan menonton TV yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat terbang. Hasilnya? Responden mengalami peningkatan kecemasan, seperti: takut pesawatnya kehilangan kendali, takut turbulensi, takut ketinggian, dan akhirnya takut untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Nah!
Cara Mengatasi Aviophobia
Di zaman yang nyaris tanpa sekat antar negara ini, menaiki pesawat terbang adalah sebuah keniscayaan. Menaiki pesawat terbang bukan lagi menjadi hal yang mewah karena nyaris bisa dijangkau kalangan menengah. Saat saya masih jadi pekerja di Batam dulu, naik pesawat mah biasa 🙂
Nah, jika hal umum tersebut terhalang oleh aviophobia, pasti ada gangguan dan ketidaklancaran dalam kehidupan, sedikit maupun banyak. Di dalam novel saya, Dania menghapus cita-citanya untuk berkuliah di luar negeri gara-gara aviophobia. Tuh, kan?
Katakan lah, seseorang mampu bertahan untuk tidak menaiki pesawat. Masih bisa hidup normal ini ^^ Tapi menurut saya, jika dia seorang muslim yang berkemampuan, ada saatnya orang itu harus naik pesawat terbang. Bukankah ibadah umrah dan haji menghajatkan untuk menaiki si burung besi?
So, aviophobia sebaiknya memang segera diatasi, caranya:
Pertama, bisa dimulai dari diri sendiri yaitu dari segi keimanan yang harus dikuatkan. Ya, hidup dan mati kita mutlak ada di tangan-Nya. Tawakal saja. Naik pesawat atau tidak, jika maut sudah waktunya menjemput, pasti tidak bisa ditunda.
Kedua, memperbanyak memikirkan hal-hal yang positif tentang penerbangan. Bayangkan bahwa hamparan langit biru itu sangat indah. Ada gumpalan-gumpalan awan serupa kapas yang sangat dekat dengan mata kita. Atau bayangkan jika kita sedang naik permadani terbang.^^
Ketiga, jika masih terasa berat juga, sebaiknya berkonsultasi kepada para ahli, baik itu konselor, psikolog, atau bahkan psikiater jika memang dibutuhkan. Karena aviophobia yang sudah akut dan mengganggu kehidupan normal itu termasuk gangguan psikis. Maskapai penerbangan biasanya juga menyelenggarakan kursus ‘takut terbang’. Nah, ikutan gabung aja!
Keempat, segera praktikkan. Jika sudah merasa lebih berani, segera ambil kesempatan untuk terbang dengan ditemani pasangan, anggota keluarga, atau teman dekat yang mengerti kondisi kita. Dijamin, penerbangan akan terasa seru dan menyenangkan.
Bukan berarti saya melarang untuk bersimpati kepada keluarga korban lho, ya. Monggo saja jika ingin banyak mengikuti berita tentang jatuhnya Lion Air JT 610 hari ini. Tetap harus diingat, jika sudah terasa mengganggu sampai membuat kita takut, sebaiknya berhenti dulu. Aviophobia? Semoga jauh dari kita, ya. ^^
Semoga Tim Basarnas, Tim DVI, dan segenap tim gabungan diberi kelancaran dalam melaksanakan tugas mulianya. Semoga para korban segera ditemukan dalam kondisi apapun ;( Semoga keluarga yang ditinggalkan tetap tabah menjalani cobaan ini. Semua ada hikmahnya, Insya Allah.
Ya, kita bangsa Indonesia, sekali lagi diberi ruang untuk banyak berempati.
Salam,
Postingan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post bersama Estrilook Community.
#ODOP_Day17
Sumber: liputan6.com
Sumber gambar: pixabay