Film Dua Garis Biru – Tanggal 7 Maret kemarin, Afra -putri sulung saya- genap berusia 13 tahun. Yaa Rabb, begitu cepatnya waktu berlalu. Suka duka saat mengandung dan melahirkannya seperti baru terjadi kemarin. Ternyata sekarang Afra sudah menjadi gadis, sudah berbahagia sebagai seorang santriwati yang sedang menjaga kalam ilahi.
Saya jadi teringat momen saat liburan semester pada pertengahan Desember 2019 kemarin. Afra mendapat jatah liburan selama 2 pekan. Selain tetap menjalankan kebiasaan di pondoknya, Afra juga mengisi waktu liburan dengan membaca novel.
Novel-novel itu dibelikan si Abi di awal tahun ajaran baru: tujuh novel “Serial Bumi”-nya Tere Liye. Novel-novel itu belum sempat dibacanya karena pada semester awal memang dia tidak diperbolehkan membawa buku bacaan dari rumah.
Setelah tujuh novel itu dilahapnya, saya mengajaknya untuk nobar film. Yups, menonton film bareng memang kebiasaan kami sejak Afra masih SD. Itu adalah salah satu cara saya mengajaknya berdialog. Kami bisa berdiskusi tentang sebuah tema dalam kehidupan untuk kemudian diambil pelajaran berharganya.
Apalagi di usia remajanya seperti ini, ngobrolin film dengannya berarti saya siap menjadi sahabatnya. Ya, Afra dan remaja seusianya ‘kan generasi digital, gitu loh.
Daftar Isi
Menonton Asyik via Iflix
Nah, film yang kami tonton bareng adalah Dua Garis Biru. Sebelumnya, saya sudah menonton film ini pada bulan November 2019. Tidak di bioskop kok. Di rumah saja via aplikasi iflix.
Tahu dong, ya. Ini adalah salah satu platform video streaming yang populer di Indonesia. Cukup unduh aplikasinya yang hanya sebesar 20 MB. Lalu biasanya untuk menghemat kuota, saya mengunduh dulu filmnya dan menontonnya secara offline.
Melalui iflix, saya bisa menonton film dengan kualitas gambar dan suara yang cukup baik. Biasanya sih saya memakai earphone sehingga tata suara di filmnya benar-benar pas di pendengaran.
Pastinya saya menonton film dengan cara mencicil, hehe. Kalau anak tidur atau sedang diajak bermain Si Abi, baru deh saya bisa melanjutkan PR menonton.
By the way, menonton film via iflix seperti ini juga salah satu bentuk dukungan kita untuk dunia perfilman Indonesia. Yups, karena perusahaan produksi filmnya bekerja sama secara resmi dengan iflix untuk memasarkan filmnya secara legal, pasca tayang di bioskop.
Kalau tiket bioskop masih dianggap mahal, saya rasa berkorban kuota tak ada salahnya untuk sebuah pengalaman mencermati sisi lain kehidupan via film. Itu prinsip saya, sih.
Dua Garis Biru Sempat Menimbulkan Pro dan Kontra
Film Dua Garis Biru resmi tayang di iflix pada tanggal 22 November 2019. Tidak terlalu lama dengan tayang perdananya di bioskop yaitu tanggal 11 Juli 2019.
Saya tidak harus menunggu sampai enam bulan untuk menyerap pesan film drama keluarga ini. Nah, di awal promonya, film ini sempat ditentang oleh sebagian publik Indonesia.
Pasca penayangan trailer film Dua Garis Biru pada tanggal 25 Mei 2019, muncul sebuah petisi di change.org.id agar film ini tidak ditayangkan di bioskop karena dianggap menjerumuskan. Ya, ya. Pergaulan bebas yang berujung kehamilan, gitu loh. Apanya yang bisa dipelajari?
Mungkin begitu pemikiran si pembuat petisi dan mereka yang menolak mentah-mentah kehadiran film ini. Baru menyaksikan trailer film dan secepat itu mengambil kesimpulan? Hoho…
Saya sendiri jadi penasaran saat trailer Dua Garis Biru hadir di YouTube. Hmm… saya langsung teringat dengan sinetron lawas yang pernah dibintangi oleh Agnes Monica dan Syahrul Gunawan, Pernikahan Dini.
Yang ngeh dengan sinetron ini, toss… Kita seangkatan. 😉 Seingat saya, dulu tidak ada yang bikin penolakan atas tayangnya sinetron Pernikahan Dini di televisi. Belum musim petisi juga kali, yak.
Saya mencoba menerka bahwa para penolak film ini risih dengan adegan awal di trailer dimana dua pemeran utamanya ditampakkan begitu mesra. Pastinya mereka khawatir jika kemesraan ala remaja itu bisa ditiru oleh remaja lainnya.
Tak lama kemudian, ada petisi tandingan agar film Dua Garis Biru tetap tayang di bioskop seperti yang telah dijadwalkan. Mereka yang mendukung Dua Garis Biru tetap tayang pastinya ingin menyerap pesan yang disampaikan oleh film ini.
Toh ini adalah film drama keluarga, bukan film bergenre pure romance. Begitu mungkin alasan mereka yang pro dengan film Dua Garis Biru ini. Sepemahaman saya, sih.
Saya sendiri tidak menandatangani petisi manapun. Tapi sebagai emak yang agak suka film -apalagi bertema keluarga- saya malah berharap bisa menonton Dua Garis Biru dan menyaksikan sendiri keseluruhan jalan ceritanya.
Itu lebih adil. Namun saya memastikan tidak bisa menonton film itu di bioskop. Kenapa? Yeah, si kecil lebih utama, dong. Telinga kecilnya masih belum boleh bersahabat dengan suara menggelegar di gedung bioskop.
Apakah ini berarti saya mendukung remaja untuk berpacaran? Hoho… Saya dulu punya prinsip tidak akan berpacaran sebelum menikah. Prinsip itu juga saya tanamkan dong pada Afra. Prinsip itu tidak akan berubah, insyaallah. Pacaran itu tidak diperbolehkan menurut ajaran Islam.
Menonton film Dua Garis Biru saya niatkan untuk memahami dan belajar mendalami tentang kasus remaja yang terjadi sehari-hari. Bukankah kasus remaja hamil di luar nikah adalah peristiwa pahit yang terus terjadi hingga sekarang?
Ehem, setidaknya di lingkungan tempat tinggal saya ada dua kasus Married by Accident. Rasanya tidak akan nyaman jika saya ngomongin mereka. Ya, ya. Perbuatan mereka salah tetapi siapa tahu mereka sudah bertaubat?
Lagipula saya tidak tahu persis kejadian apa yang melatarbelakangi ‘kecelakaan’ mereka itu. Pastinya mereka juga tidak membuka suara tentang peristiwa kelam tersebut.
So, Dua Garis Biru ini bisa menjadi sarana pembelajaran tentang kasus di atas tanpa saya harus meng-ghibah tetangga. 😉 Film ini tidak mengada-ada dan sebenarnya ingin membicarakan realita dengan cara khas film bekerja: pikirkan dan tangkap pesannya!
Dua Garis Biru; Ngomongin Dara dan Bima
“Oh, Dara ini yang dulu meranin Euis di film Keluarga Cemara ya, Mi?” tanya Afra.
Saya mengangguk. Yups, Adhisty Zara kembali menunjukkan akting bagusnya lewat film ini sebagai Dara. Sedangkan peran Bima, pacar Dara, dibawakan dengan baik juga oleh Angga Yunanda. Keduanya adalah siswa kelas XII di SMA Budi Pelita yang duduk sebangku.
“See. Pacaran bisa meningkatkan prestasi belajar?” tanya saya pada Afra. Dia langsung menggeleng dan nyengir.
Yups, Dara adalah siswi dengan prestasi akademik yang ciamik, sementara Bima tetap saja memperoleh nilai buruk dalam ulangannya. Yang menenangkan, Dara berusaha membela Bima: yang penting tidak menyontek!
Agaknya, kepribadian Bima yang baik lah yang membuat Dara jatuh hati. Padahal Bima berasal dari keluarga biasa, berbeda dengan Dara yang merupakan anak pertama dari sebuah keluarga berada.
Pun, di situ digambarkan sosok Bima yang berkulit sawo matang (pinter juga nih Make-up Artist-nya). Jauh berbeda dengan idola-idola Dara yang berkulit putih: para K-Pop stars.
“Hmm… Sebenarnya mereka anak yang baik,” gumam saya.
Awal bencana terjadi saat keduanya hanya berdua saja di rumah Dara. Berawal dari bercanda, bermain-main di kamar Dara, lalu terjadilah perbuatan dosa yang kemudian disesali keduanya.
Dara dan Bima hanya melakukan ‘itu’ sekali tapi bisa ‘langsung jadi’. Poin inilah yang kemudian saya tekankan pada Afra.
“Pada saat seorang perempuan berada pada masa suburnya, gairahnya untuk berhubungan badan lebih tinggi daripada biasanya. Ini yang tidak dijaga dengan baik oleh Dara dan tidak disadari sepenuhnya oleh Bima,” jelas saya.
Ya, pasti Dara sedang berada dalam masa suburnya yaitu hari ke-10 sampai ke-17 sejak hari haid pertama. Rata-rata jangka waktunya seperti itu untuk mereka yang memiliki jadwal haid teratur. Then my daughter got the point.
“Jam pasir?” gumam Afra.
“Itu menunjukkan kegelisahan Dara karena dia tak kunjung dapat haid,” jawab saya.
Pada scene sebelumnya, Dara tampak mual dan muntah saat makan bareng teman-temannya. Dua tanda-tanda kehamilan yang umum terjadi. Kegelisahan yang dilanjutkan dengan adegan membeli test pack yang mengundang senyum. Lalu… Positif!
Bima terguncang, sampai-sampai gelisahnya membuat ibunya (Cut Mini) menyangka bahwa Bima terlibat narkoba. Untunglah ayah Bima (Arswendi Nasution) yang religius itu lebih tenang. Ya, Bima dibesarkan di tengah keluarga yang cukup religius.
Dara apalagi. Impiannya untuk berkuliah di Korea dan berkeliling dunia seakan menuju kehancuran. Tekadnya bulat: aborsi! Bima yang mencarikan ‘dukunnya’. Namun saat tiba di tempat itu, tiba-tiba Dara berubah pikiran. Ditunjukkan dengan scene ‘stroberi’ yang menurut saya keren sekali.
“Bayangkan dosanya jika mereka jadi melakukan aborsi itu,” ucap saya. Anak gadis saya terdiam, sedang menghayati adegan mengharukan yang tengah berlangsung.
Mimpi Dara, Perjuangan Bima
“Kamu pikir gampang ya jadi orang tua? Saya aja gagal jadi orang tua!” Mamanya Dara (Lulu Tobing) berbicara dengan nada penuh emosi pada Dara dan Bima.
Mereka akhirnya ketahuan. Walaupun Dara dan Bima merasa siap bertanggung jawab, itu tidak membuat Papa Dara (Dwi Sasono) lebih tenang. Ketegangan terjadi di antara kedua orang tua mereka. Dara dikeluarkan dari sekolah dan diusir dari rumah!
Dimulailah petualangan hidup baru Dara di lingkungan keluarga Bima yang tinggal di sebuah kampung padat penduduk. Dara dan Bima akhirnya merasakan bahwa berumah tangga sangat jauh berbeda dengan berpacaran.
Hal-hal yang nampak sepele pun bisa jadi pertengkaran. Tips berkomunikasi antara pasutri rupanya belum mereka kuasai. Ya iya lah…
Adegan-adegan selanjutnya cukup menguras air mata. Betapa Dara berusaha keras meraih mimpinya dan Bima tak menyerah berjuang dalam keterbatasannya.
Ada juga selingan adegan lucu juga misalnya via ucapan Dewi, kakak Bima (Rachel Amanda), tokoh figuran ibu hamil (Asri Welas), maupun celetukan Bima sendiri yang menjadi judul film ini. Kok bisa Dua Garis Biru?
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi cukup diulas dengan bagus di sini sehingga saya minim menjelaskan pada Afra. Pun bertebaran kutipan jlebb yang berasal dari dialog para pemainnya. Salah satunya adalah ucapan Ibu Bima: “Harusnya kita sering ngobrol kayak gini ya, Bim. Coba aja dari dulu ibu kasih tahu kamu, pasti tidak akan kejadian.”
Pentingnya Komunikasi Anak dan Orang Tua
Film Dua Garis Biru ini benar-benar menohok dari beberapa sisi. Yang paling saya sorot adalah tentang komunikasi dan keterbukaan antara anak dan orang tua.
Ya, berkomunikasilah secara intens dengan anak kita, apalagi jika mereka sudah menjelang aqil baligh, sudah remaja. Masa-masa itu rawan dengan segala keingintahuan dan penasaran.
Jangan sampai mereka justru mencari tahu sendiri melalui sumber yang salah sehingga mereka pun kebingungan dan salah jalan pula. Saya sudah melakukannya dan Dua Garis Biru ini sangat membantu.
Dear parents, how about you?
Salam,
Sumber foto : Ig @duagarisbirufilm @iflix.id