Di sebuah hutan belantara di benua Afrika, hiduplah berjenis-jenis binatang. Di antara mereka, terdapat keluarga Jeri, si Jerapah kecil. Jeri, ayah, dan ibunya memiliki keunikan karena mereka berkulit putih seperti susu. Padahal, umumnya Jerapah itu punya permukaan bulu dengan bercak-bercak kecokelatan.
“Kenapa wajahmu cemberut begitu, Jeri?” tanya ibu Jeri suatu siang. Jeri baru saja pulang dari bermain.
“Aku kesal, Bu,” sahut Jeri. “Si Rafe mengolok-olok aku. Katanya aku ini Jerapah palsu.”
Ibu Jeri yang mendengar itu tersenyum bijak, “Oh, begitu. Boleh kesal tapi sebentar saja, ya. Kamu tidak boleh balas mengolok-olok. Kan anak baik.”
“Betul kata ibumu, Nak,” sahut ayah Jeri yang tiba-tiba muncul. “Kamu memang sedikit berbeda dari si Rafe dan anak Jerapah lain. Tapi kamu tetap anak Jerapah yang jagoan, kok.”
Mendengar itu, Jeri kembali tersenyum. Ia bertekad untuk tidak lagi kesal atau sedih jika ada yang mengoloknya.
“Nah, kalau begitu ayo kita makan siang dulu,” ajak ibunya.
Jeri mengangguk. Perutnya memang sudah lapar. Ia segera menjulurkan lehernya dan menyantap daun-daun pohon Akasia yang segar. Kata orang tuanya, daun Akasia akan membuatnya sehat dan kuat.
“Ibu, Ayah, aku izin keluar lagi, ya? Aku sudah berjanji akan mampir ke rumah Mimi,” ucap Jeri setelah selesai makan bersama.
“Boleh, Nak. Tapi jangan pulang terlalu sore, ya,” pesan ibunya.
Jeri mengangguk, ia ingin segera bertemu Mimi. Mimi adalah seekor anak semut yang bersarang di sebuah pohon Akasia di ujung hutan. Walaupun jaraknya cukup jauh, Jeri bisa cepat sampai di sana. Ya, kakinya yang panjang tentu saja memudahkannya menempuh perjalanan.
“Ada apa, Mimi? Kenapa wajahmu terlihat panik seperti itu?” tanya Jeri.
“Gawat, Jeri. Pohon-pohon Akasia akan punah,” jawab Mimi.
“Hah? Bagaimana mungkin?” Jeri terkejut.
“Ayo kita pergi ke sungai besar. Gendong aku di punggungmu,” sahut Mimi.
Jeri pun mendekatkan tubuhnya agar Mimi bisa naik ke punggungnya. Jeri melangkah cepat ke arah sungai besar yang membelah kawasan hutan.
“Ssst, menunduklah, Jeri,” bisik Mimi.
Jeri pun melipat kaki panjangnya dan bersembunyi di rerimbunan semak belukar.
“Lihat itu, manusia-manusia serakah! Mereka menebangi pohon Akasia dan menghanyutkannya di sungai,” jelas Mimi sambil tetap berbisik.
“Huh! Enak saja mereka. Buat apa mereka mengambil pohon-pohon itu?” Jeri menjadi geram.
“Aku pernah diam-diam mendengar obrolan mereka. Pohon-pohon itu akan hanyut sampai ke perbatasan luar hutan. Lalu mereka akan memotong-motongnya menjadi kayu dan menjualnya ke kota,” jawab Mimi.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus berbuat sesuatu,” tegas Jeri.
Jeri melihat ke sekelilingnya. Pohon-pohon Akasia tampak sudah mulai jarang. Padahal, pohon Akasia adalah tempat berteduh yang nyaman untuk para hewan. Kawanan semut tinggal di pohon-pohon itu. Sementara itu, kawanan Jerapah menjadikan daun-daun Akasia sebagai makanan kesukaan mereka.
“Aha, aku punya ide,” ucap Jeri setelah berpikir sebentar. “Kamu tahu di mana manusia-manusia itu menginap?”
“Mereka menginap di gubuk-gubuk kayu sebelah sana,” tunjuk Mimi.
Jeri tersenyum. Dia mengajak Mimi ke rumahnya. Sesampainya di sana, Jeri memberi tahu ayahnya. Mereka segera berunding untuk menjalankan aksinya nanti malam.
Malam hari pun tiba. Jeri dan ayahnya mengendap-endap di luar gubuk para penebang liar itu.
“Bos, ada… ada suara menyeramkan,” ucap seorang penebang yang bertubuh kurus dengan wajah takut.
Penebang lain yang dipanggil bos berjalan ke arah pintu. Sebenarnya dia merasa deg-degan juga.
“Suara apa itu? Siapa… di luar?” tanyanya dengan suara tersendat.
Brakkk! Pintu gubuk yang tipis roboh terkena tendangan ayah Jeri. Tampak Jeri dan ayahnya melotot ke arah para penebang itu. Terdengar suara geraman yang menyeramkan.
“Hantuuu! Ada hantu Jerapah!” teriak orang-orang itu ketakutan.
Mereka kalang kabut dan berlarian ke luar gubuk. Para penebang liar itu cepat-cepat menaiki perahu motornya, menuju ke arah luar hutan.
“Dasar penakut! Mana ada hantu? Apalagi hantu Jerapah.” Jeri tidak dapat menahan tawanya.
Mimi dan rombongan semut yang menyaksikan itu ikut bersorak-sorai, “Terima kasih, Jeri!”
Ayah Jeri tersenyum, “Nah, betul kan kata Ayah. Kamu memang jagoan, Nak.”
“Terima kasih, Ayah. Aku memang berbeda, tapi aku bangga,” jawab Jeri senang.
“Setelah ini, Ayah akan melapor pada Raja Harry. Agar sebagian kawanan Harimau ikut berjaga di sini,” ucap Ayah Jeri.
Jeri, Ayah, Mimi, dan teman-temannya pun pulang ke rumah dengan perasaan lega.
***
Fakta Unik:
Jerapah putih ditemukan di wilayah hutan Kenya, Afrika Timur. Tepatnya di suaka margasatwa Hirola Conservation Program (HCP) pada Agustus 2017.
Warna kulit putih pada Jerapah itu disebabkan oleh leusisme, yaitu kondisi terhambatnya pembentukan zat warna pada sel kulit.
Pohon Akasia (Acacia Greggii) menghasilkan nektar yang dimakan oleh kawanan semut yang disebut Acacia Ants.
*Dongeng ini pernah diuat dalam buku “Tales from Wonderland”, Kumpulan Naskah Terpilih Sayembara Ulang Tahun Wonderland Family, terbitan Wonderland Publisher (2019)