Literacy is a bridge from misery to hope.
– Kofi Annan
Ada momen spesial untuk seluruh manusia di dunia setiap tanggal 8 September tiba. Yups, ini adalah peringatan Hari Literasi Internasional atau International Literacy Day. Semoga teman-teman tidak lupa, ya. Atau malah baru tahu tentang ini? ๐
Nah, sebutan lain untuk peringatan hari tersebut dalam istilah Bahasa Indonesia adalah Hari Aksara Sedunia atau Hari Melek Huruf Internasional. Penetapannya dilakukan oleh UNESCO saat sesi ke-14 Konferensi Umum UNESCO pada tanggal 26 Oktober 1966.
Apapun itu sebutannya, ini adalah waktu bagi kita semua baik secara individu, masyarakat, atau komunitas untuk mengevaluasi diri dalam hal semangat dan pencapaian belajar.
Istilah Literasi dan Pentingnya Kemampuan Berbahasa
Ya, belajar. Sesuai dengan istilah awal literasi yang berasal dari Bahasa Latin yaitu literatus yang berarti adalah orang yang belajar. Kita bisa menyebut “manusia pembelajar” sebagai padanan katanya. Sebuah profesi yang aktif dan berlaku untuk kita semua sepanjang masa; dari usia belia hingga manula. Lulus sekolah dan lulus kuliah lalu malas belajar hal-hal baru? Jangan, dong!
Dalam pengertian lebih luas lagi, literasi itu merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa.
Jadi teringat masa sekolah dulu saat banyak teman-teman saya bilang: “Bosen nih belajar Bahasa Indonesia. Gak ngerti-ngerti!”
Atau… “Kalau ujian Bahasa Indonesia kok gitu, ya? Bacaannya banyaaakkk… Males, ah!”
Pernah juga saat saya SMK, hampir semua teman-teman sekelas “memboikot” pelajaran Bahasa Inggris dengan kompak tidak mengerjakan tugas dari guru. Duh. Saya yang seorang English mania dan selalu bersemangat saat pelajaran itu tiba seakan disudutkan. Eh, jadi curcol ๐
Hmm… Semoga itu hanya masa lalu yang pahit dan tak terulang pada anak-anak kita, ya ๐ Walaupun sebab di balik ketidaksukaan pada pelajaran bahasa itu bisa beragam juga, sih. Misalnya: cara gurunya menyampaikan materi yang kurang pas. Tapiii… menyalahkan faktor eksternal itu enggak banget, ah!
Lagipula, kemampuan berbahasa seharusnya tidak diawali di sekolah dan tidak sekadar tentang nilai pada mata pelajaran semata. Rumah lah yang seharusnya menjadi titik awal seorang anak menguasai dan mencintai bahasa ibu lalu meluas lagi kepada pemahaman akan beragam bahasa lainnya. Ini sungguh penting karena kemampuan berbahasa adalah bagian dari literasi baca tulis yang akan memengaruhi penguasaan literasi yang lain.
6 Jenis Literasi yang Seharusnya Dikuasai
Sejak tahun 2015, World Economic Forum telah menyepakati bahwa ada 6 literasi dasar yang harus dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat, yaitu:
1. Literasi Baca Tulis
Di antara 6 literasi dasar, membaca dan menulis merupakan literasi yang paling awal dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya merupakan literasi fungsional dan sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.
2. Literasi Numerasi
Literasi ini adalah kemampuan mengaplikasikan konsep bilangan dan ketrampilan berhitung dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya: menggunakan angka atau simbol yang terkait dengan matematika dan menganalisis grafik, bagan, serta tabel.
3. Literasi Sains
Menurut OECD (2016) literasi sains adalah pengetahuan yang dapat menjelaskan fenomena ilmiah, memahami karakteristik sains serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait dengan sains.
4. Literasi Finansial
Literasi ini merupakan pemahaman tentang konsep dan risiko, pengambilan keputusan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial.
5. Literasi Digital
Menurut Paul Gilster (1997) mengartikan literasi digital sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas dan dapat diakses melalui komputer.
6. Literasi Budaya dan Kewargaan
Literasi ini merupakan kemampuan individu atau masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari suatu budaya dan bangsa.
PR Literasi Bagi Bangsa Indonesia
Pada pembukaan UUD 1945 telah tertuang salah satu tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Literasi dan pendidikan jelas mengambil peran di situ. Keduanya ibarat dua sisi mata uang dan saling terkait. Khususnya literasi baca tulis sebagai yang paling dasar seperti yang tersebut di atas.
Dari segi baca saja -belum membicarakan yang lain- mungkin teman-teman sudah sering mendengar sekilas tentang hasil riset yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2015 yang menunjukkan betapa masih rendahnya tingkat literasi orang Indonesia khususnya pada minat baca. Disebutkan bahwa Indonesia berada pada posisi 62 dari 70 negara yang menjadi obyek survei.
Sudah 4 tahun yang lalu, sih. Semoga setiap tahun ada peningkatan level, ya. Mengingat sebenarnya para founding father bangsa ini sebenarnya adalah orang-orang yang suka membaca walaupun kesempatan belajar pada masa penjajahan jelas tidak seleluasa sekarang. Malu sama beliau-beliau, atuh.
Saya sudah suka baca, kok. Baca-baca status facebok dan caption instagram ๐
Ya, ya. Itu termasuk aktivitas membaca, sih. Tapiii…. yakin nih kalau itu dibaca secara mendalam dan dimengerti maksudnya? Sampai saat ini saya sering menemukan tulisan hasil copas-an atau link artikel yang dibagikan seseorang secara terburu-buru. Dibaca judulnya doang?
Mengutip pendapat Nicholas Carr yang menyebutkan tentang penurunan minat baca semenjak mbah google menjadi sahabat kita. Daya tahan membaca kita sepertinya semakin berkurang. Jika dahulu masih bisa membaca 3-4 lembar buku dengan penuh konsentrasi, sekarang? Tulisan 3-4 paragraf pun seenaknya di-skip. Belum lagi jika kita lebih banyak membaca dengan teknik skimming. Sebuah teknik membaca cepat gara-gara terpengaruh kebiasaan membaca portal berita online. Wes-ewes-ewes… Bablas bukuneee!
Iya, sih. Ada sisi positif pada era mbah google ini yaitu kita bisa menikmati efisiensi, kenyamanan, dan kecepatan informasi. Tetapi, nyaman kadang juga merupakan jebakan. Kita jadi kehilangan kemampuan membaca secara mendalam. Lalu berlanjut kepada berkurangnya waktu berkontemplasi dan berpikir. Duh!
Ini adalah PR besar kita di era digital ini, saat kemajuan teknologi begitu pesat. Saat beragam gawai berlomba menawarkan kecanggihannya untuk kita coba. Menurut John Naisbitt, seorang penulis Amerika dalam bukunya “High Tech, High Touch”, teknologi yang maju harus diimbangi dengan peradaban maju pula. Kemajuan dan kecanggihan teknologi mesti dikendalikan oleh sentuhan akal dan nilai-nilai kemanusiaan.
Smartphone lebih pintar dari kita? Oh no!
Mari kita mulai dari diri sendiri dan keluarga: menjadi manusia beradab yang menguasai kemampuan literasi baca tulis. Saya sendiri berprinsip: pantang membelikan anak saya gawai sebelum dia benar-benar suka membaca buku. Untuk saya sendiri juga demikian yakni menjadikan buku sebagai sahabat baik dan terus berusaha menulis sebagai bukti bahwa saya adalah manusia pembelajar; literatus. InsyaAllah.
Salam,
Tatiek
Sumber:
instagram: @indoreadgram
https://www.kompasiana.com/amp/robi_kurniawan/inilah-perbedaan-dampak-membaca-di-media-sosial-dan-buku_5743936a23b0bd40048b4569
Sumber gambar:
Canva & instagram
Sumber gambar:
Canva & instagram
Postingan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post (ODOP) September 2019 by Estrilook Community.
#ODOPDay4