Harta yang Paling Berharga (Memang) Keluarga – Sejak tanggal 22 April 2021 kemarin, saya lumayan mengikuti berita tentang tenggelamnya Kapal Selam Nanggala 402. Saya kira, perhatian seluruh bangsa Indonesia juga tertuju pada gugurnya 53 awak kapal yang sedang bertugas di dalam “monster laut” yang menjaga perairan Indonesia tersebut.
Mereka, para ksatria penakluk samudera itu juga adalah kepala keluarga yang selalu dinantikan kepulangannya. Takdir berkata lain. Mereka ternyata “memilih menjaga samudera selamanya” dan harus berpisah dengan anak istrinya.
Saya sungguh ikut merasa sedih setiap kali membaca tentang perkembangan beritanya. Ikut terharu membaca pernyataan para istri yang kini kehilangan belahan jiwanya. Bukan siapa-siapa mereka, namun saya sangat bisa mengerti perasaan para istri prajurit itu.
Ya, karena posisi saya sama dengan mereka.
Setiap hari selepas subuh, saya melepaskan suami untuk pergi bekerja ke kota sebelah. Saya memandang punggungnya seraya melantunkan doa dan menyaksikannya menghilang di belokan jalan.
Setiap hari pula saya mengucapkan hamdalah ketika suami saya tiba di rumah selepas Magrib. Setelah sehari penuh dia berjuang mencari nafkah dan menunaikan tanggungjawabnya, akhirnya saya mendapati lagi senyum hangatnya.
Saya kira, setiap suami yang berjiwa pejuang akan berusaha tersenyum saat tiba di rumah walaupun dia lelah. Sayangnya, senyum hangat itu tak lagi bisa dijumpai oleh para istri awak kapal Nanggala 402. Senyum suami mereka sudah disimpan abadi oleh samudera tak bertepi. Yang tersisa hanyalah kenangan bercampur sesaknya dada ketika kembali mengingat kebersamaan yang pernah dijalani.
Kehilangan memang selalu menyesakkan. Bagi yang tak menjalaninya, kehilangan yang dialami orang lain adalah pelajaran untuk lebih mensyukuri akan anugerah yang masih dimiliki. Saya sendiri jadi seperti diingatkan bahwa setiap momen bersama suami itu sangat berharga. Sekecil apapun itu. Saat mencium tangannya, menyiapkan handuknya, menghidangkan makanan untuknya, sampai kepada aktivitas pillow talk sebelum mengembara ke alam mimpi.
Suami dan Buah Hati, Harta Tak Terganti
Suami saya, kepala keluarga saya, adalah sahabat yang paling setia sejak kami berdua berada di perantauan dulu. Kepala keluarga saya itu juga sosok family man yang sangat dekat dengan anak-anak. Kepala keluarga saya itu adalah imam yang baik, yang benar-benar melengkapi separuh jiwa saya. Alhamdulillah.
Ada pula anugerah anak-anak yang menjadi penyejuk mata. Karena hadirnya mereka, saya dan suami resmi menyandang predikat sebagai orang tua. Saya resmi bergelar ibu, sebuah gelar yang tak terbeli yang saat menjalaninya tidak mengenal kata lulus.
Sungguh bersyukur karena saya termasuk yang terpilih memiliki gelar itu. Di luar sana, mungkin ada banyak yang ingin memiliki gelar ini tetapi tidak kesampaian. Pun mungkin ada juga yang terang-terangan menolak gelar ini, menolak kodratnya sendiri.
Celoteh dan tawa anak-anak saya telah membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Rumah saya seakan menjelma seperti taman bunga yang indah, yang membuat saya menjadi betah. Sekali lagi, sungguh saya mensyukuri anugerah ini. Di luar sana, banyak penghuni rumah yang begitu mengharap istananya punya warna yang sama namun masih belum bisa mewujudkannya.
Penyejuk mata saya ada sepasang; perempuan dan laki-laki. Pernah ada yang berkomentar bahwa memiliki anak-anak itu adalah sebuah keberuntungan. Saya cuma tersenyum.
Sejatinya, jenis kelamin mereka tentu saja adalah hak prerogatif Allah Swt. Sebuah takdir indah yang mungkin dirindukan oleh para orang tua lain yang “masih” memiliki anak berjenis kelamin sama. Beberapa teman lama saya bahkan terus menambah jumlah anak karena target “jenis kelamin berbeda” belum tercapai.
Pernah ada juga yang berkomentar bahwa jumlah anak saya kurang, bahkan sangat kurang. Lagi-lagi saya tersenyum. Saya paham, sih. Beberapa pasutri memang ada yang quantity oriented. Pokoknya jumlah anak harus banyak, begitu mungkin prinsipnya.
Silakan saja. Seharusnya sih mereka juga tidak perlu berkomentar tanpa diminta tentang jumlah anak yang ideal. Rumah tangga saya dan segala rencananya sungguh tidak sama dengan mereka.
Jadi, saya memilih untuk lebih mensyukuri kehadiran dua buah hati. Syukur tak terukur, bahagia tak terhingga. Alhamdulillah.
Harta Berharga itu Hanya Titipan-Nya
Nah, dua hari yang lalu, saya kembali diingatkan Allah Swt tentang berharganya sebuah keluarga. Saya diingatkan bahwa anak adalah juga harta titipan-Nya. Sebenarnya, anak-anak tidak mutlak milik orang tuanya.
Sebuah bukti baru saja terjadi dan sebenarnya sudah terulang berulangkali. Dua hari yang lalu, tetangga saya kehilangan anaknya untuk selama-lamanya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tetangga saya menangis pilu begitu menyaksikan buah hatinya terbujur kaku. Saya yang menyaksikannya ikut berurai air mata. Sang Pemilik Kehidupan berkenan mengambil harta titipan-Nya lagi. Orang tuanya bisa apa? Jelas tidak bisa ditolak. Yang sesegera mungkin harus dilakukan mereka adalah ikhlas menerima, bersabar, dan meneruskan hidup seperti biasanya. Hidup yang mungkin tidak lagi sama warnanya.
Tiba-tiba saya jadi rindu dengan putri sulung saya yang sedang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren. Alhamdulillah, momennya tepat. Putri saya dan teman-temannya mendapatkan jatah libur Ramadan yang digabung dengan libur kenaikan kelas.
Saat saya mengetik ini, dia sudah berada di rumah. Salah satu harga berharga saya itu bisa saya peluk dan cium kembali setiap hari. Jelas ini adalah sebuah kesempatan berharga bagi saya.
Saya juga memandang si kecil yang masih balita, yang setiap detik, setiap menit, setiap jam selalu bersama saya. Dia sedang terlelap dengan damai. Sungguh beruntung saya bisa membersamai tumbuh kembangnya, mendidiknya dengan sepenuh jiwa.
Kebersamaan dengannya benar-benar ingin saya nikmati secara sadar. Tidak apa-apa jika karenanya saya harus minim mengakses media sosial. Waktu tidak bisa kembali, saya memilih untuk menikmati quality time dan quantity time bersama Si Kecil saya.
Jaga Selalu Harta Berharga Itu
Suami dan anak-anak, harta saya yang paling berharga. Kehadiran mereka sungguh lebih berharga daripada emas permata. Kehadiran mereka adalah rangkaian episode terbaik dalam film kehidupan saya. Alhamdulillah…
Salam Cinta Keluarga,
*Sebuah catatan kecil tentang peristiwa yang terjadi pada bulan Ramadan 1442 Hijriah
5 Comments. Leave new
Alhamdulillah kita termasuk hamba yang dikarunia keluarga lengkap ya mbak. Memang keluarga adalah harta yang paling berharga, ditengah2 mereka kita merasakan nyaman dan tenang. Semoga keluarga kita semua senantiasa dilindungi oleh Allah SWT dan diberikan keberkahan, aamiin.
Saya suka sedih kalau ada yg komen pada keluarga yang kehilangan, bahwa semua itu titipan Allah swt. Seolah gampang gitu…Harta bisa dicari, tapi kalau keluarga? Engga ada gantinya…
Kalau boleh tawaran-tawaran sama Allah swt, boleh ga sih minta dititipi terus, jangan diambil lagi ya Allah…
Pengalaman kehilangan salah satu anggota keluarga yang pertama kali terjadi pada saat umur saya 6 tahun. Waktu itu orang-orang cenderung menutup-nutupi bahwa Papa meninggal. Bilangnya cuma sakit, jadi saya gak nangis, cuma heran kenapa semua orang menangis. Tapi kebohongan ternyata menimbulkan efek kehilangan yang malah semakin besar dan lama karena setiap saat seperti baru sadar Papa gak pernah ada lagi.
Betul mba kehilangan sosok terdekat yang berpulang itu beneran bikin hati terpotek-potek. Apalagi mereka yang pergi mendadak tanpa pamit, dan dalam kondisi yang menyedihkan seperti para pahlawan TNI AL tempo hari. Semoga mereka semua mendapatkan tempat terbaik di surga dan keluarga yg ditinggalkan diberikan penghiburan dan pemulihan utk menjalani hidup.
Keluarga memang harta yang tak ternilai harganya. Saat berduka atau terkena masalah maka larinya ke keluarga, tentu saja setelah memohon kepada Allah Swt. Tulisan ini sebagai pengingat diri nih, makasih ya.