Puasa di rumah saja adalah ‘tema bulan puasa’ ala saya sejak bulan Ramadan tahun 2020. Qadarullah, pandemi Covid-19 membuat saya menahan diri untuk tidak banyak bepergian. Pergi-pergi, sih. Namun hanya sesekali dan jaraknya tidak terlalu jauh.
Itu artinya, rumah adalah tempat yang paling banyak saya diami selama bulan puasa. Khususnya pada Ramadan 2020, saya sibuk mendampingiputri sulung saya selama kegiatan ‘mondok jarak jauh’. Saat itu, para santri memang dipulangkan ke rumah masing-masing.
Masih teringat, saat itu kasus orang yang terinfeksi Covid-19 meningkat tajam. Pihak pesantren tempat putri saya menimba ilmu memutuskan hal di atas demi keamanan bersama. Saya amati, beberapa pesantren lain pun begitu.
Pada Ramadan 2021, situasinya nyaris sama. Saya lebih banyak di rumah tetapi putri saya tidak dipulangkan. Aturannya berubah menjadi larangan mengunjungi santri sejak Rajab. Putri saya baru mendapatkan jatah libur Ramadannya menjelang lebaran.
Alhamdulillah, kondisi berkumpul dengan anggota keluarga lengkap tentu saja menggembirakan. Bedanya, kami memilih untuk tidak bukber di luar seperti sebelumnya. Lebih banyak di rumah sajalah. Bahkan kami tetap setia di rumah saja sampai lebaran tiba.
Lha mau bagaimana lagi? Kami tidak bisa mudik ke Solo, hiks.
Mengingat Lagi Awal Mula ‘Harus di Rumah Saja’
Kita semua mungkin tidak pernah membayangkan akan mengalami suasana Ramadan yang benar-benar berbeda. Sepanjang ingatan saya, belum pernah ada wabah penyakit menular nan mematikan -yang saya jumpai- dan memengaruhi segala aspek kehidupan. Baru Covid-19 di tahun 2020 yang bisa!
Di awal tahun 2020, sebagian dari kita mungkin sudah mengetahui bahwa Covid-19 mulai meyebar di Cina. Saya sendiri saat itu cuma beranggapan bahwa virus itu akan seperti SARS; cuma numpang lewat. Bahkan ada orang yang berspekulasi bahwa Covid-19 tidak akan bisa masuk ke Indonesia. Eh, ternyata salah besar!
Sejak 2 Maret 2020, masyarakat kita dihebohkan dengan masuknya Covid-19 via ‘pasien 01 dan 02’ di Depok, Jawa Barat. Duh, deg-degan! Jumlah pasien tertular terus bertambah sepanjang April sampai Mei 2020.
Alhasil, aturan untuk lebih banyak di rumah saja mulai diterapkan. Kegiatan bermasyarakat dihentikan, kondangan ditiadakan, work from home mulai dijalankan, dan anak-anak sekolah pun harus belajar di rumah. Mendadak, roda kehidupan berubah. Suka atau tidak suka, pro maupun kontra.
Protokol kesehatan diperketat. Situasinya sangat tidak mengenakkan, apalagi pemberitaan Covid-19 begitu masif. CBL, CBL… Cemas Banget Loh!
Ya, gangguan kecemasan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lancet Regional Health di Amerika. Ada sekitar 42 persen orang dalam penelitiannya yang mengalami tekanan psikologis ringan karena Covid-19. Saya sendiri saat itu memilih untuk skip berita tentang Covid-19 jika sudah membuat pikiran tidak nyaman.
Ramadan adalah ‘Hiburan Istimewa’
“Telah datang kepada kalian Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad dalam Al Musnad 2/385)
Di tengah situasi mencekam tersebut, datanglah Ramadan. Saat itu, tanggal 1 Ramadan jatuh pada tanggal 23 April 2020. Walaupun situasinya berbeda dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya, sikap kita sebagai muslim dalam menyambut Ramadan seharusnya sama: bergembira.
Ya, bergembira. Bertemu Ramadan lagi adalah anugerah istimewa yang tidak semua umat Islam menjumpainya. Kondisinya boleh mencekam, tetapi Ramadan ‘menawarkan hiburan’ dengan pahala berlipat ganda dan diampuninya dosa-dosa.
Puasa di rumah saja memang tidak biasanya. Saya yakin, saat itu banyak dari kita yang merasa aneh ketika harus salat tarawih dan iktikaf di rumah saja. Kita tidak bisa lagi menghadiri kajian di masjid dengan leluasa. Ngabuburit atau berburu takjil? Mana bisa seperti biasanya!
Semua kejadian pasti ada hikmahnya. Ketika harus puasa di rumah saja, kita sebenarnya bisa lebih fokus dalam beribadah. Kita bisa lebih dekat dengan Al Qur’an dan lebih sering mengkhatamkannya. Kita bisa tetap salat tarawih berjamaah ataupun menyimak kajian daring bersama keluarga. Family bonding seharusnya lebih kuat dalam kondisi demikian.
Bukankah begitu?
Puasa di Rumah Saja Bagian ke-3
Ramadan tahun 2020 dan 2021 sudah terlewati. Sebuah situasi yang sebenarnya tidak mudah dihadapi. Namun atas izin Allah Swt, ternyata kita bisa sampai di sini lagi: Ramadan tahun 2022. Alhamdulillah.
Pandemi belum usai dan penerapan protokol kesehatan masih terus harus dijalankan. Kita jadi terbiasa menjaga kebersihan tangan, kebersihan anggota badan, memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Tidak ada ruginya karena secara tidak langsung kita telah belajar sabar dan taat; kepada Allah Swt dan aturan yang berlaku.
Kondisi Ramadan tahun ini jauh lebih baik dari dua tahun sebelumnya. Ikut bersyukur karena para tenaga medis pasti bisa berpuasa Ramadan dengan lebih tenang karena jumlah pasien sudah sangat jauh berkurang. Saya kira, kondisi psikis kita semua juga lebih baik dari sebelumnya.
Nah, inilah puasa di rumah saja bagian ke-3 bagi saya. Kali ini saya menjalaninya dengan sepenuh hati dan terencana. Saya ingin lebih banyak mentadabburi Al Quran, lebih banyak membaca buku, dan lebih banyak menulis di blog. Insyaallah akan saya ceritakan lebih detail pada postingan berikutnya.
Puasa di rumah saja tetap bermakna, kok. Setuju?
Salam,