I always believe holidays strengthen the family bond, away from our daily hectic schedules.
– Chiranjeevi
Menghabiskan waktu liburan bersama keluarga adalah salah satu surga dunia. Apalagi untuk keluarga LDR seperti kami, wuih… sungguh anugerah tak terkira. Seperti liburan akhir tahun 2018 kemarin yang kami isi dengan mengunjungi Wisata Edukasi Kampung Coklat di Kabupaten Blitar.
Psst… Ejaan yang benar menurut KBBI adalah cokelat. Tapi karena sudah dari awal bernama Kampung Coklat, saya akan menuliskan seperti itu, ya.
Nah, maunya sih kami berlibur ke Solo seperti tahun sebelumnya. Tapiii… jangankan bisa mengambil cuti panjang, suami yang bekerja di Surabaya saat itu sedang hectic jadwal kerjanya. Hari Sabtu biasanya dia sudah off, tapi tanggal 29 Desember dia masih harus overtime sampai sore. Alhasil dia baru pulang ke Malang pada Sabtu malam, hiks.
![]() |
Pintu gerbang bagian dalam Kampung Coklat |
It was okay. Rencana liburan pun berubah. Seperti yang tersebut di awal, saya dan suami akhirnya sepakat untuk mengunjungi Kampung Coklat. Ya, ya. Walaupun kami yakin bahwa destinasi wisata andalan Kabupaten Blitar yang dibuka sejak 2014 itu akan penuh dengan pengunjung. Hari Minggu dan akhir tahun pula. Bayangkan…
Merealisasikan Ngidam yang Tertunda
Hari Minggu (30/12) pun tiba. Kami tidak berangkat pagi-pagi karena Pak Sopirnya ternyata masih kecapekan, hihi. Okelah… Baru sekitar jam 9 kami sekeluarga siap. Saya, suami, Afra, Akmal dan Eyang Uti pun berangkat, menembus hujan rintik-rintik yang turun saat itu.
Perjalanan ke arah barat menuju Kabupaten Blitar tergolong lancar. Sepertinya lebih banyak kendaraan yang mengarah ke utara, ke arah Malang dan Batu. Bersyukur, di waktu yang sempit itu kami memilih arah yang berlawanan jadi paling tidak bisa terhindar dari kemacetan.
![]() |
Rombongan kami. Si Adek sibuk melihat ikan, tuh |
Sampai di Talun, Kabupaten Blitar, salah seorang Tante saya bergabung dengan mobil kecil kami. Beliau belum pernah berkunjung ke Kampung Coklat. Sama seperti saya yang tertunda terus untuk pergi ke sana sejak saya hamil anak kedua. Ya, dua tahun yang lalu saya ngidam ingin pergi ke sana. Sudah hampir sampai di tujuan saat itu, tapi ada kejadian yang membuat rombongan kami berbalik arah. Hiks… Tidak perlu diceritakan, ya.
Kampung Coklat yang Sungguh Padat
Tidak terlalu sulit untuk mencapai Kampung Coklat berkat bantuan Google Maps. Hanya berjarak sekitar delapan kilometer dari Kecamatan Kanigoro yang merupakan ibukota Kabupaten Blitar. Akses jalan menuju ke sana memang agak sempit tapi sudah beraspal. Sip.
Alhamdulillah, hujan sudah reda saat kami tiba di sebuah kampung yang terletak di Desa Plosorejo, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Seperti namanya, Kampung Coklat memang terletak di perkampungan padat penduduk. Suami saya memilih untuk memarkirkan mobil di halaman salah seorang warga. Rupanya keberadaan Kampung Coklat lumayan menambah pundi-pundi pendapatan bagi warga sekitar. Selain lahan parkir, terdapat banyak warung kecil di sekitarnya.
Seperti perkiraan saya, manusia tumplek blek saat itu. Kami tetap enjoy berjalan di sela-sela mereka sembari menghindari beberapa titik tanah yang becek. Alhamdulillah, suami saya bersedia menggendong si kecil Akmal jadi emaknya bisa lenggang kangkung sejenak, hihi.
Kami bersama-sama memasuki lorong menuju loket pembelian tiket. Saya yang bertugas membeli tiket seharga lima ribu rupiah per orang, termasuk untuk pengunjung bayi. Cukup murah, bukan?
Sejarah Kampung Coklat
Begitu masuk ke dalam, kepadatan manusia lebih terasa lagi. Wuih. Mereka tampak memadati kebun Kakao seluas 5 hektar yang unik itu. Ya, unik karena kebun Kakao tersebut seakan berada di dalam ruangan. Bangku-bangku yang tersedia di bawah pepohonan Kakao rata-rata sudah penuh. Hanya satu-dua yang kosong ditinggalkan pengunjungnya yang beralih berdiri, mengambil swafoto di sana sini.
Saya dan keluarga tidak mau ketinggalan, dong. Hehe. Salah satu spot yang saya pilih adalah papan besar bertuliskan sejarah Kampung Coklat. Penting ini. Dari sana akhirnya saya tahu bahwa Kampung Coklat yang dikunjungi wisatawan dari berbagai penjuru Indonesia ini punya sejarah yang menginspirasi.
Pendiri Kampung Coklat, Kholid Mustafa, awalnya adalah seorang peternak yang mengalami kebangkrutan karena virus flu burung pada tahun 2004. Beliau pun mencoba banting setir dengan mengurus kebun keluarga yang sudah ditanami Pohon Kakao sejak tahun 2000.
Hasil panen yang masih coba-coba itu lumayan, dengan harga Rp 9.000 per kilogram. Pak Kholid pun berniat belajar lebih dalam tentang budidaya Pohon Kakao dengan magang di PTPN XII Blitar dan Puslit Kota Jember.
Kisah lengkap perjalanan suksesnya ada di bawah ini:
Kisah lengkap perjalanan suksesnya ada di bawah ini:
Wisata Edukasi tentang Coklat
Ada proses pembibitan Pohon Kakao oleh para petani yang bisa dilihat langsung oleh para pengunjung. Biasanya rombongan sekolah yang mengikuti proses tersebut alias terjadi di hari Senin sampai Sabtu. Saya sekeluarga tentu saja hanya bisa melihat-lihat deretan Pohon Kakao yang ditanam rapi, mulai dari yang masih di polybag sampai yang sudah cukup rindang.
![]() |
Bergaya di antara Pohon Kakao |
Berlanjut dengan mengelilingi berbagai sudut. Ada ruangan untuk cooking class yang mengajarkan kepada para pengunjung cara menjadi seniman cokelat. Cukup dengan membayar Rp 5000, para seniman diajari untuk melukis krim di atas cokelat berbentuk hati. Hasil akhirnya tentu saja boleh dibawa pulang.
![]() |
Sumber: Tempo |
Di sudut yang lainnya ada kafe Chocolato Paradise yang menawarkan untuk menikmati cokelat sepuasnya dengan membayar Rp 30.000. Uniknya, ini digratiskan untuk pengunjung kafe yang memiliki berat badan di bawah 12 kilogram. Yang jelas saya tidak masuk hitungan, hehe.
Masih lapar dan ingin menyantap makanan berat? Ada kantin yang menyediakan menu prasmanan. Beberapa di antaranya tetap berbau cokelat, misalnya: Nasi Goreng Cokelat. Juga ada beberapa stand penjual makanan konvensional yang berderet-deret di pinggir. Mulai menu ikan bakar sampai yang berkuah seperti bakso ada di sana.
![]() |
Kantin dengan menu prasmanan |
Tiba-tiba saja hujan turun lagi. Kami bergegas mencari tempat yang teduh sekaligus ingin menuju masjid Karena memang sudah masuk waktu Zuhur. Tampak halaman masjid basah sehingga harus berhati-hati saat melewatinya. Ada yang menarik di sana yaitu di sekeliling masjid terdapat kolam berisi Ikan Koi berwarna-warni. Pengunjung diperbolehkan memberi makan ikan dengan pakan yang telah disediakan.
![]() |
Masjid di dalam lokasi Kampung Coklat |
![]() |
Si kecil Akmal tampak senang melihat banyak Ikan Koi |
Cukup lama kami berteduh di masjid karena hujan tak kunjung reda. Sementara itu waktu kian beranjak sore. Akhirnya kami memutuskan untuk melipir pelan-pelan menuju Chocolate Gallery. Di sana dijual berbagai oleh-oleh berupa beraneka olahan cokelat dan suvenir. Di dalamnya ada pula bioskop mini yang mempertontonkan sejarah berdirinya Kampung Coklat.
![]() |
Di depan pintu masuk Chocolate Gallery |
Setelah puas berkeliling Chocolate Gallery dan memilih snack yang dibeli, segera saja saya membayarnya di kasir. Semua serba cokelat dan pastinya halal, dong. Saya membeli cokelat batangan berbagai varian (dark chocolate 67%, milk chocolate, original chocolate, fruit chocolate), Dodol Cokelat, Madu Mongso Cokelat, Stik Cokelat, Cokelat Bubuk Seduh, dan Keripik Usus Pepaya Cokelat. Semua adalah hasil olahan Kampung Coklat sendiri, juga hasil kerjasama dengan mitra usaha mereka.
Alhamdulillah, jumlah kasirnya banyak sehingga saya tidak harus mengantri lama. Saat itu menjelang pukul empat sore, Kampung Coklat menjelang tutup.
Hiks, rasanya masih kurang puas karena hanya bisa berkeliling Kampung Coklat singkat saja. Belum semua wahana kami kunjungi. We’ll go there again someday, insya Allah.
Liburan Akhir Tahun 2019: ke Bandung!
Liburan akhir tahun tentu saja masih lama. Sekarang saja masih Februari. Tapi tidak ada salahnya menyusun rencana, bukan? Insya Allah, jatah cuti suami saya akan terkumpul di akhir tahun ini. Karena agak banyak, destinasi wisata yang dituju bolehlah lebih jauh. Jika tidak ada halangan, kami ingin sekali mengunjungi Bandung sekeluarga.
Mengapa Bandung? Karena saya belum pernah singgah lama di sana, hanya pernah melewati saja. Pastinya penasaran sekali, dong. Secara hawa, Bandung (katanya) mirip-mirip Malang: tergolong sejuk. Adaptasinya pasti tidak sulit. Lalu, dari yang saya baca dan yang diceritakan beberapa teman, Bandung adalah surganya wisata keluarga, wisata alam, wisata sejarah, dan wisata kuliner. Pas!
![]() |
Sumber: Traveloka |
Ingin rasanya mengunjungi taman hiburan terbesar di Jawa Barat yaitu Trans Studio Bandung. Juga Dago Dream Park yang tahun lalu dinobatkan sebagai salah satu destinasi wisata populer di Indonesia. Penasaran juga dengan Museum Gedung Sate yang tempo hari diceritakan seorang teman. Bagaimana sih rasanya surabi atau cilok asli Bandung?
![]() |
Dago Dream Park (IG @traveloka) |
Karena letaknya cukup jauh dan tidak ada saudara di sana, saya dan suami harus mencari rekomendasi paket tur Bandung, nih. Ya, agar perjalanannya lebih efektif dan kami mendapat pengalaman liburan murah di Bandung karena pembelian tiket pesawat langsung sepaket dengan booking hotelnya. Asyik, kan?
Bismillah. Mulai menabung dari sekarang. ๐
Nah, adakah teman-teman yang ingin pergi ke Bandung juga seperti kami?
Salam,