Yuhuuu… Sudah di penghujung bulan Juni. Ada agenda khas para orang tua yang anak-anaknya sudah lulus jenjang pendidikan tertentu, nih. Bahkan agenda ini mungkin sudah dilakukan jauh-jauh hari. Yups, memilih sekolah untuk anak. Apakah teman-teman termasuk para orang tua itu?
Saya mengaku duluan, nih. Tahun ajaran ini, si kecil saya akan memasuki jenjang sekolah Taman Kanak-Kanak. Alhamdulillah, saya dan suami sudah mendapatkan sekolah yang (insyaallah) sesuai untuk si kecil. Entah nanti dia akan belajar seperti biasa atau harus seperti kakak-kakak kelasnya pada tahun kemarin. Ya, walaupun mereka terdaftar sebagai murid TK namun sekolahnya harus di rumah saja.
Pandemi oh… pandemi.
Memilih sekolah untuk anak tentu saja bukan pertama kali kami lakukan. Dua kali sudah saya dan suami melakukan agenda ini untuk si sulung; saat dia masuk SD dan pesantren setingkat SMP. Masing-masing menghasilkan kisah dan ‘drama’ yang pernah saya abadikan di blog ini. Tandanya, hal ini merupakan pengalaman pribadi yang tak terlupakan bagi saya.
Saat si sulung masuk SD beberapa tahun yang lalu, lahir sebuah tulisan berjudul Anakku Anak Negeri. Dari judulnya, teman-teman pasti bisa menebak. Ya, si sulung waktu itu masuk di sebuah SD Negeri yang tidak jauh letaknya dari rumah. Tulisan itu tercipta karena ada beberapa orang yang mempertanyakan keputusan saya dan suami yang dinilai ‘enggak banget’ bagi mereka.
Hoho… Karena didesak, blogger pun bertindak 😀
Alhasil, lahirlah tulisan dengan penjelasan (yang saya kira) cukup tepat sasaran dan (sedikit) bernada defensif. Kini, ketika membaca ulang tulisan tersebut, saya jadi tersenyum sendiri. Oh, aku yang dulu ternyata bersemangat sekali menjelaskan tentang pilihan sekolah negeri itu. Oh, aku yang dulu ternyata pernah terusik dengan komentar orang lain yang berpendapat seenaknya, hanya lewat sudut pandangnya saja.
Setelah melewati fase itu, saya dan suami jadi lebih rileks ketika bersama-sama memilih sekolah untuk si sulung di jenjang selanjutnya. Tulisan saya tentang itu berjudul Merajut Ikhlas, Belajar di SMP Tahfidz Khairunnas. Si sulung mondok di sebuah pesantren yang baru dirintis dan belum jadi pesantren terkenal. Kami memilihnya karena pesantren tersebut punya visi dan misi yang sesuai dengan keluarga kami.
Adakah lagi yang berkomentar? Tentu saja adaaa…
Namanya komentator, tugasnya memang berkomentar, hihi. Belajar dari pengalaman, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa ketika sudah memilih sekolah untuk anak, maka bebaskan diri dari rasa bersalah. Orang-orang berhak berkomentar namun kami juga berhak memutuskan. Tenang, deh.
Tentang Rasa Bersalah Setelah Memilih Sekolah
Secara umum, rasa bersalah itu biasa timbul dalam keseharian kita. Begitu pula dalam urusan memilih sekolah untuk anak. Berdasarkan pengalaman saya dan kisah dari teman, rasa bersalah itu bisa timbul akibat faktor internal dan eksternal. Ya, dari diri sendiri dan juga akibat ‘pengaruh’ orang lain.
Saya teringat pengalaman saat masih duduk di bangku SMP dulu. SMP tersebut adalah sekolah favorit, numero uno se-kabupaten. Untuk bisa masuk ke sana, harus melalui persaingan NEM yang ketat. Para orang tua yang bisa memasukkan anaknya ke sana sudah pasti bangga.
Sayangnya, kebanggan itu tidak berlangsung lama bagi salah satu orang tua teman saya. Anaknya jadi korban perundungan sehingga dia tidak mau masuk sekolah lagi walaupun sudah dibujuk dengan beragam cara. Padahal saat itu kami masih duduk di kelas 1, perjalanan masih panjang.
Orang tuanya menyesal telah memasukkan anaknya ke sana. Ya, walaupun kasus itu bukan murni karena faktor sekolahnya, sih. Lebih tepatnya faktor lingkungan; faktor murid-muridnya. Sekolah favorit ternyata punya masalah tersendiri dan kadang ‘membawa korban’ seperti kasus di atas.
Saya sendiri masih ingat bahwa perundungan saat itu memang seperti sebuah tradisi. Pada beberapa orang murid yang saya amati, berperilaku baik itu kurang penting. Yang penting pintar dan keren. Waktu itu saya ikutan kesal namun karena masih ‘anak kecil’ yaa… saya bisa apa?
Nah, apakah perundungan di sekolah favorit seperti kasus di atas masih berlangsung hingga sekarang? Saya kira masih ada. Mungkin berkurang namun tidak bisa benar-benar hilang. Huffft… baru-baru ini saya mendapat kisah yang sama dari seorang teman, sih. Anaknya juga bernasib demikian.
Lalu, kisah saya sendiri ketika memilih SD Negeri sebagai tempat belajar si sulung adalah contoh bahwa (mungkin) si komentator ingin menimbulkan rasa bersalah atas keputusan yang saya ambil. Haha… Boleh curiga enggak, sih? Lha wong dia dengan pede bilang di depan saya: kalo aku mah enggak bakalan masukin anak ke SD Negeri!
Padahal saya enggak nanya 😛
Dalam interpretasi saya, seakan-akan dia bilang: “Nanti anakmu jadi nakal, lho. Nanti ilmu agamanya sedikit trus anakmu enggak bisa jadi anak salihah, lho… bla… bla… bla…”
Alhamdulillah, saya tersenyum saja. Saya balas dengan tulisan saja, deh. Semoga bisa dibaca banyak orang agar banyak yang paham bahwa semua orang itu punya rencananya sendiri-sendiri. Tidak usah ditakut-takuti atau ‘dipancing’ agar ada rasa bersalah yang muncul. Kalau maksudnya adalah memberi saran, lha wong saya tidak memintanya, hehe…
Eh, berasa curhat lagi tentang kenangan lama. Haha…
Memahami Perbedaan antara Pendidikan dan Persekolahan
Rasa tenang dan bebas dari perasaan bersalah tentu saja tidak timbul begitu saja. Termasuk dalam hal memilih sekolah untuk anak. Ada hal-hal yang melandasinya, bukan sekadar ini ‘kan hak gue!
Lanjuuut tentang kisah anak kedua saya…
Nah, giliran si kecil, nih. Insyaallah calon sekolahnya adalah TK Islam yang masih baru. Ini baru angkatan ke-2. Sebelumnya, ada dua TK Islam ‘lama’ yang bisa jadi pilihan. Yang satu adalah eks TK favorit dan yang satunya TK favorit newbie. Setelah berdiskusi dan melakukan survei ke calon sekolah, kami sepakat untuk tidak memilih keduanya dan mendaftarkan si kecil ke TK Islam yang masih baru berdiri itu.
Sementara di luar sana, (sebagian) ibu masih saja membanding-bandingkan antara dua TK di atas.
A: Bagusan ini, lho…
B: Oohh… tidak bisa! Aslinya bagusan yang ini!
C: Bla… Bla… Bla…
Me: left the chat 😀
Saya tidak mau ikut-ikutan berdebat dan menjatuhkan pilihan orang lain. Saya juga tidak memaksakan ibu lain untuk memahami keputusan saya memilih TK Islam baru itu. Kalau heran ya enggak apa-apa. Saya rileks saja berbincang dan bertukar informasi seputar TK kepada tetangga saya. Anti ngotot-ngotot club, lah.
Mengambil pengalaman dari si sulung, sekolah (di tingkat apapun) adalah partner dalam mendidik anak. Ya, mendidik anak sebenarnya adalah tugas orang tua. Sedangkan sekolah berperan sebagai tempat pengajaran. Kalau mengambil terminologi Islam, pendidikan adalah tarbiyah dan pengajaran adalah taklim. Sudah terbayang belum perbedaan goal dari keduanya?
Pendidikan itu bertujuan lebih luas yaitu untuk membina fisik, mental, hati, dan nafsu manusia. Sedangkan pengajaran adalah pembinaan yang lebih ke arah akal. Pendidikan itu berlangsung seumur hidup sedangkan pengajaran ada batas lulusnya. Pendidikan harus dimulai dari rumah, dari lingkup keluarga. Selanjutnya, jika diperlukan, orang tua boleh ‘meminta bantuan’ pihak luar dalam hal pengajaran. Itulah sekolah (formal).
Mau memilih homeschooling untuk anak? Boleh banget. Orang-orang luar yang belum paham akan menyangka si anak tidak bersekolah padahal dia tetap mendapat pengajaran bahkan pendidikan. Biasanya, para orang tua homeschooler itu memang sudah siap dengan kedua tugas di atas: mendidik dan mengajar. Mereka enjoy menjalani, punya komunitas, dan tidak ribut dengan urusan menang-menangan sekolah 😉
Saya kira, ada yang bisa kita teladani dari para orang tua homeschooler yaitu tentang kesadaran bahwa mendidik anak itu adalah tugas yang tidak bisa dilimpahkan ke sekolah. Sekolah itu bukan bengkel atau laundry yang bisa ‘mereparasi’ anak dan membuat anak jadi bersih mewangi.
Ya, ya. Memang ada sekolah yang menawarkan visi-misi hebat, dengan fasilitas memadai berikut para gurunya yang mau ‘bekerja lebih’. Mereka tidak sekadar menyampaikan materi namun juga ‘merangkul’ murid-muridnya. Hebat! Di sisi lain, kenyamanan yang ditawarkan itu bisa membuat para orang tua lupa akan tugasnya. Lalu tercipta deh julukan sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah nomor wahid.
Tidak ada manusia normal yang tidak suka dengan kemudahan dan kenyamanan, termasuk dalam hal sekolah. Kalau bisa, sekolah di seluruh Indonesia harus seperti itu, hehe. Sayangnya, hal itu masih sulit terwujud. Sistem persekolahan di negeri kita belum bisa seperti Jepang, apalagi Finlandia. Maka yang bisa kita lakukan sebagai orang tua adalah jangan memperlebar kesenjangan soal sekolah yang bergengsi dan tidak bergengsi.
Beruntunglah para orang tua yang bisa memilih sekolah yang dinilai berkualitas, baik karena mampu dari segi biaya ataupun prestasi anaknya. Sebaiknya, para orang tua tersebut juga tetap berada di ‘jalur mendidik’ anak-anaknya, tidak terlena.
Para orang tua yang ‘tidak seberuntung’ mereka pastinya juga berusaha sesuai kemampuan. Jika sekolah anaknya bukan unggulan, siapa tahu mereka adalah orang tua unggulan yang justru didikannya dari rumah jempolan.
Jadi, silakan memilih sekolah dengan cermat. Pastikan kita adalah orang tua bertipe pendidik sehingga tidak akan ada rasa bersalah setelah memilih partner untuk mengajar anak kita.
Memilih Sekolah itu (Kadang) Seperti Memilih Jodoh
Seorang rekan saya bercerita tentang pilihan sekolah bagi anaknya yang ternyata tidak sesuai harapan. Anaknya dimasukkan ke sebuah pesantren setingkat SMP yang besar dan terkenal. Pesantren itu milik adik iparnya sendiri dengan harapan: “Wong nyantri di tempat Om-nya sendiri pasti gampang lah urusannya”.
Ternyata tidak demikian. Si anak malah tidak kerasan dan meminta pindah pesantren. Orang tuanya terus membujuk tetapi tidak mempan. Oh ternyata… memilih sekolah itu kadang seperti memilih jodoh.
Apa yang kurang dari pesantren itu? Ibarat seorang pria, pesantren itu adalah sosok yang seiman, tampan, kaya-raya, rajin beribadah, baik hati, setia, suka menolong, tidak sombong. Surga dunia banget!
Saya sih tidak bertanya apakah keputusan memasukkan pesantren itu adalah murni keinginan orang tuanya atau sesudah berdiskusi dengan anaknya. Kalau hanya keinginan orang tua, sayang sekali. Lha yang menjalani ‘kan si anak. Dia berhak didengarkan suaranya juga.
Kalau keputusan itu atas kesepakatan bersama, mungkin ada hal-hal di pesantren yang membuat tidak kerasan dan akhirnya dia ‘balik badan’.
Situasi di atas pasti banyak terjadi di sekitar kita. Anak ternyata tidak berjodoh dengan sekolah yang sudah dituju. Jika sudah begitu, wajar sih kalau ada rasa bersalah karena telah salah memilih. Lebih tepatnya, salah perkiraan.
Jika diibaratkan itu sebuah perjodohan, ‘hubungannya’ boleh diakhiri jika sudah tidak mungkin diperbaiki. Boleh bercerai dan itu bukan aib. Bukankah tetap bertahan di dalam hubungan toksik itu tidak baik?
Ayo move on karena masih banyak sekolah lain yang bisa jadi ‘jodoh’ sejati anak kita 🙂
Eh, lha kok cukup panjang juga cuap-cuap saya. Hehe…
Yang jelas, kejadian di atas membuat saya lebih sering berdiskusi dari hati ke hati saat kunjungan ke pesantren si sulung. Apakah dia benar-benar kerasan? Apakah ada hal-hal yang mengganjal? Apakah teman-temannya ada yang bermasalah lalu bisa merembet ke yang lainnya?
Tentu saja saya tidak lupa sedikit membahas tentang rencana ke depan. Tahun depan dia akan lulus SMP, euy! Cepat sekali waktu berlalu. Alhamdulillah, kami sudah menyepakati tiga opsi tentang pilihan sekolah lanjutannya.
Semoga kelak tiga opsi itu terwujud salah satunya. Semoga niat saya (dan suami) tetap terjaga; yang terbaik untuk anak, bukan untuk gengsi kami. Juga, semoga tidak ada rasa bersalah di penghujungnya. Aamiin.
Salam,
Artikel ini diikutkan dalam Tantangan Artikel Pasukan Blogger Joeragan Artikel bulan Juni 2021 dengan tema “Memilih Sekolah”
Sumber gambar: pixabay
6 Comments. Leave new
Mantap jika orangtua memahami perbedaan pendidikan dan pengajaran
Seharusnya setiap orang tua memahami perbedaannya, Mbak 🙂
bener juga sih, kenyataan masih banyak yang merasa demi gengsi harus memaksa anak bersekolah di tempat tertentu
Nah, itu dia. Repot urusannya kalau persekolahan bertopeng gengsi segala. Sepertinya memang banyak sih yang demikian 😉
Wah, aku banget nih nyekolahin anak di SD Negeri, kekeke. Tapi EGPlah, aku punya pertimbangan tersendiri kok. Yang jelas anakku senang dan bahagia. Prestasinya juga lumayan dan yang penting anak jadi disiplin. Toh masalah pendidikan tidak sepenuhnya dari sekolah. Ortu justru yg harusnya berkontribusi banyak.
Sepakat. Pendidikan adalah tanggung jawab orang tua. Jika mau ditambah persekolahan, itu adalah pilihan.