Mengenal overthinking – Teman-teman, seringkah mendengar istilah overthinking belakangan ini? Saya sih iyes. Sepertinya, overthinking ini sering disebut-sebut di kalangan anak muda dan emak-emak.
Seakan-akan menjadi sebuah tren terkini yang umum dihadapi, gitu.
Duh, lagi o-ve-te, nih…
Ga bisa tenang akutu. Overthinking melulu…
Mengenal Overthinking dalam Dunia Psikologi
Nah, apa sih overthinking itu? Sebenarnya, ini adalah ‘bahasa gaul’ untuk menyederhanakan sebuah kondisi ketika seseorang berpikir terlalu berlebihan. Hoho… Ini tidak sama dengan banyak berpikir lho, ya.
Sebagai manusia berakal, justru kita harus banyak berpikir, dong.
Seseorang disebut mengalami overthinking adalah jika dia berpikir berlebihan, tapi tidak punya solusi atas apa yang dipikirkannya. Ibaratnya, ada benang kusut di tangan, ehh… ditimang-timang melulu benangnya.
Seharusnya ‘kan berusaha diuraikan pelan-pelan agar benangnya bisa digulung lagi dengan rapi.
Biasanya, seseorang yang mengalami overthinking akan mengalami susah tidur di malam hari. Ada juga yang menjadi susah berkonsentrasi dan cenderung memiliki mood yang buruk. Ada yang pernah atau sering mengalami?
Jujur, saya pernah mengalaminya. Duh, tidak enak sekali rasanya.
By the way, overthinking ini tidak sama dengan well-planned, ya. ‘Kan ada tuh orang yang punya kebiasaan berpikir yang panjang. Dia selalu memikirkan apa yang direncanakannya dari A sampai Z. Tipe pemikir, gitu.
Apa yang dilakukannya itu bukan termasuk overthinking. Kebiasaan baiknya itu ini akan tetap menjadi baik selama dia bisa menetapkan skala prioritas.
Dia punya solusi atas rencana-rencana matangnya tersebut. Banyak berpikirnya yang seakan menyita waktu itu adalah karena tipe perfeksionisnya.
Beberapa Contoh Kasus Overthinking
Seperti yang saya sebut di atas, anak-anak muda termasuk golongan yang sering mengalami overthinking. Salah satu penyebabnya adalah ketika mereka mengalami perundungan.
Biasanya, mereka yang tidak berdaya akan mengalami stres. Ketika dia tidak bisa fight, dia akan melakukan freeze.
Freeze, berarti membeku. Ini adalah tindakan diam karena merasa bukan sebagai figur yang dominan. Namun, sebenarnya di dalam hatinya dia berontak dan protes. Kondisi freeze seperti ini rentan menyebabkan overthinking, lho.
Overthinking juga bisa dialami sejak anak-anak. Ada sebuah kisah nyata tentang overthinking yang berujung pada masalah kejiwaan serius pada seorang anak.
Gejalanya tidak terdeteksi karena sepintas si anak terlihat baik-baik saja. Sekolahnya tidak bermasalah, nilai akademisnya bagus pula.
Padahal, ada yang terus dipikirkannya dan dipendamnya sendiri. Sejak usia 9 tahun, si anak memergoki ayahnya melakukan perselingkuhan. O-ow!
Ternyata peristiwa itu begitu membekas dalam pikirannya. Dia sangat mengkhawatirkan ibunya namun kebingungan sendiri saat hendak bercerita.
Ini tentu menjadi catatan penting bagi orang tua bahwa permasalahan anak itu bukan sekadar urusan di sekolahnya saja. Masalah di keluarga yang tidak terselesaikan juga bisa menjadi sumber overthinking-nya.
Akan semakin gawat jika orang tuanya kurang tanggap dalam berkomunikasi dengan anak yang bertipe tertutup. Ambyar!
Overthinking, Gejala Awal Gangguan Kejiwaan?
Seperti contoh kasus di atas, overthinking sangat bisa berpotensi menjadi gejala awal gangguan kejiwaan. Anak yang tersebut di atas sampai mengalami halusinasi auditori.
Kecemasannya terbawa-bawa bahkan ketika dia beribadah. Seakan-akan ada yang berbisik di telinganya: kamu salah! beribadahmu tidak benar!
Nah, agar overthinking tidak sampai berubah menjadi disorder, orang terdekat harus mengamati perubahan perilaku. Orang tua harus benar-benar memahami anaknya. Suami atau istri harus memahami pasangannya.
Misalnya saat mereka mulai mengalami insomnia, moody, atau emosi tak terkendali, ajaklah mereka duduk dan berbincang. Pancing dengan cara halus agar mereka mau terbuka lalu jadilah pendengar yang baik.
Ya, hal yang paling dibutuhkan oleh mereka adalah didengarkan dulu.
Jika gangguan karena overthinking tersebut tidak kunjung membaik dan tidak bisa diatasi sendiri, sebaiknya meminta bantuan para ahli. First step biasanya adalah psikolog. Jika masih berlanjut dan perlu pengobatan, maka meminta bantuan psikiater adalah langkah berikutnya.
Ini adalah langkah-langkah yang sama seperti ketika mengalami sakit fisik. Berlaku juga ‘jika sakit berlanjut, hubungi dokter!
Salam,
Tatiek Purwanti