Resolusi 2022 – Teman-teman, punya agenda apa di malam tahun baru kemarin? Kalau saya sih di rumah saja bersama keluarga. Lebih aman dan insya Allah lebih terjaga.
Saya tidak terbiasa berpesta malam tahun baru, sih. Lebih baik tidur cepat (selama setahun) hehehe…
Sebelum pergi ke pulau kapuk, saya punya agenda utama di malam tahun baru, dong. Saya sudah berniat mantengin talkshow akhir tahun yang diselenggarakan oleh Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN). Judulnya adalah New Hope, New Episode with Semeleh.
Dari judulnya bisa ditebak; topik yang dibahas itu berhubungan dengan resolusi 2022. Pas banget nih dengan yang saya butuhkan.
Lalu apa pula itu Semeleh? Yuk, simak ulasan saya di bawah ini!
Daftar Isi
Agenda Lanjutan dari Proyek Buku Antologi Semeleh
Bagi teman-teman yang belum tahu, Semeleh adalah proyek buku antologi IIDN tahun 2021. Buku antologi ini mengusung tema kesehatan mental/jiwa. Proyek antologi yang tepat waktu, nih. Tema kesehatan mental/jiwa belakangan ini memang diminati oleh banyak orang.
Buku Semeleh memiliki tagline The Journey of Self Love, Gratitude, and Acceptance. Ya, mencintai diri sendiri, bersyukur, dan menerima adalah ketiga pilar yang bisa mengokohkan bangunan kesehatan jiwa. Saya sendiri termasuk salah satu penulis buku antologi ini. Alhamdulillah.
Proyek buku antologi Semeleh ini cukup panjang jalannya. Dimulai sejak awal Ramadan 2021 yang lalu. Di sela aktivitas Ramadan, saya memutuskan untuk mengikuti proyek antologi Semeleh ini. Alhamdulillah, saya mendapatkan banyak limpahan ilmu dan pencerahan melalui materi yang disampaikan oleh para mentor.
Ketiga mentor kece itu adalah Mbak Widyanti Yuliandari, Mbak Artha Julie Nava, dan Mbak Intan Maria Lie. Ya, ini bukan proyek buku antologi yang sekadar mengumpulkan tulisan saja.
Ada pembekalan materi terlebih dahulu sebagai ‘bahan bakar’. Alhasil, para peserta lebih mudah saat menuangkan isi kepala ke dalam bentuk tulisan yang mencerahkan.
Nah, Grand Launching buku Semeleh sudah berlangsung pada tanggal 29 November 2021 yang lalu. Ternyata, masih ada agenda lanjutannya yaitu talkshow IIDN akhir tahun.
Seneng, deh. Apalagi topiknya tentang resolusi 2022. Pas banget digelar di hari terakhir tahun 2021. Tidak ada alasan untuk melewatkan ini, dong!
Dari Semeleh Menuju Berkarya
Talkshow IIDN New Hope, New Episode with Semeleh diselenggarakan via Zoom. Tepat pukul 19.30, acaranya dimulai. Sebenarnya saya tidak bisa full stay tune di depan laptop, sih. Jam segitu, saya harus mondar-mandir karena menyambut suami pulang kerja. Untungnya si kecil dijagain kakaknya.
Talkshow ini dipandu oleh Mbak Opi Ardiani, rekan blogger yang juga salah satu penulis buku Semeleh. Mbak Widyanti Yuliandari selaku Ketua Umum Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) membuka agenda dengan kata sambutan.
Menurut beliau, setelah semeleh harus dilanjutkan dengan berkarya. Maka, kita semua butuh resolusi. Tentu tak sekadar resolusi tanpa aksi.
Selanjutnya, ada tiga orang perwakilan penulis buku Semeleh yang berbagi kisah. Mereka adalah Mbak Melisa, Mbak Julia Pasca, dan Mbak Widyaningsih.
Mbak Melisa merasa lebih tenang dan legowo pasca bergabung dalam proyek antologi buku Semeleh. Mbak Julia Pasca berusaha menyeimbangkan antara ambisi dan kondisinya yang harus mengasuh tiga orang anak. Sementara Mbak Widyaningsih menjadi lebih mudah merasakan bahagia dalam segala kondisi.
I feel you, Mbak-Mbak sekalian! Saya pun terdorong untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang.
Ya, seimbang antara menjaga kesehatan fisik dan kesehatan mental. Seimbang dalam mengelola emosi; kapan waktunya diam atau bereaksi. Setelah seimbang, insya Allah akan lebih mudah untuk menjalani tantangan keseharian.
Profil Darmawan Aji, Sang Narasumber
Selanjutnya, Mbak Wid memperkenalkan komunitas IIDN kepada narasumber talkshow ini, Mas Darmawan Aji.
Siapa Mas Darmawan Aji?
Beliau adalah seorang productivity coach bersertifikat internasional yang berfokus pada mindful productivity. Lulusan Fisika ITB ini aktif mengisi coaching di berbagai perusahaan. Selain itu, Mas Aji juga seorang penulis buku produktif. Beliau sudah menulis 7 buah buku cetak dan 2 buah e-book bertema motivasi dan pengembangan diri.
Melalui akun instagram beliau, – @ajipedia – saya jadi tahu penampakan buku-buku milik Mas Aji. Wah, buku-bukunya nampak menarik dan menggiurkan sekali. Jadi mupeng, nih.
Mas Aji juga seorang blogger dan youtuber yang cukup rajin membuat konten. Saya sempat mengintip blog beliau di www.darmawanaji.com. Juga channel Youtube beliau, Darmawan Aji. Daebak! Mantap!
Menurut saya, beliau memang beneran produktif dalam berkarya. Pas banget dengan materi yang beliau kuasai dan ajarkan. Tidak salah nih IIDN memilih beliau sebagai narasumber talkshow akhir tahun kali ini. Nyambung banget dengan tema Semeleh dan langkah mewujudkan resolusi 2022, nih.
Di awal materi, Mas Aji menceritakan tentang sejarah beliau menjadi seorang coach. Menurutnya, profesinya yang sekarang adalah hasil dari pencarian yang cukup panjang. Sebelumnya, beliau mempelajari banyak hal dan bekerja ala palugada.
Tahu ‘kan, ya? Apa yang elu mau, gue ada 😀
Atas dorongan istrinya, beliau memilih salah satu bidang untuk ditekuni yaitu dunia kepelatihan. Dari fisika dan palugada lalu berfokus pada bidang coaching, why not?
Setelah mengikuti training ini-itu, topik yang menarik minat Mas Aji adalah seputar produktivitas. Beliau pun menekuni bidang ini sejak tahun 2009 sampai sekarang.
Antara Semeleh dan Produktivitas
Mas Aji mengambil sebuah contoh yang terjadi di dunia pencak silat yang ditekuninya. Ada cara pandang yang salah ketika orang akan memukul yaitu dengan mengerahkan kekuatan ototnya secara penuh.
Alhasil, justru tenaga yang dikeluarkan itu zonk dan nantinya gampang jatuh. Padahal, teknik yang benar ketika menyerang adalah dengan merelaksasikan otot.
Hal di atas ternyata nyambung jika ini dihubungkan dengan filosofi semeleh. Ketika suatu kejadian tidak mengenakkan menimpa kita, jangan langsung bereaksi dan menghadapinya dengan penuh ketegangan.
Terima saja dulu, baru deh kita cari cara terbaik untuk menghadapinya. Ini akan meminimalisir rasa sakit yang ditimbulkan, lho.
Mindful atau Multitasking?
Banyak orang memiliki kesalahan persepsi tentang produktivitas. Biasanya, produktivitas sering dipandang dengan kaku; serius banget dan penuh target. Mereka yang produktif berarti terus menerus ‘memproduksi’ sesuatu, seakan tidak menikmati hidup karena terlalu bekerja keras.
Apa yang terjadi jika kita menjalani konsep produktivitas seperti di atas? Alih-alih produktif, seseorang malah bisa jadi burn-out yaitu lelah dan stres, baik secara fisik maupun mental. Sebabnya, konsep produktivitas seperti di atas itu berarti mengerjakan lebih banyak hal dalam waktu yang lebih sedikit.
Hal ini tentu berbeda dengan konsep mindful productivity. Kita tidak dianjurkan untuk mengerjakan lebih banyak hal melainkan mengerjakan lebih sedikit hal. Dengan catatan, sedikit hal tersebut adalah yang bermakna dalam kehidupan kita. Sedikit tapi bernilai, gitu.
Jadi secara strategis, fokus mindful productivity itu adalah mendorong kita untuk memilih hal secara spesifik dan melepaskan hal yang tidak perlu. Di sinilah kita perlu bertanya pada diri sendiri: apa sih tujuan hidup kita?
Setelah kita memahaminya, baru deh kita bisa memetakan hal-hal yang kita lakukan. Kita akan lebih mudah menentukan apakah yang kita kerjakan itu sesuai dengan tujuan hidup kita atau tidak.
Lalu dari sisi teknis, mindful productivity itu tidak menganjurkan multitasking. Biasanya begitu’ kan ya? Produktif itu berarti bisa mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan.
Sat-set… was-wes… sahut ini-sahut itu… Kayak emak-emak enggak, sih? 😀
Nah, berdasarkan banyak riset, multitasking itu justru berisiko, lho!
Pertama, multitasking itu memperlama tuntasnya sebuah tugas. Terlihat hebat sih bisa sekali jalan, gitu. Padahal kalau misalnya di-timer, justru total waktunya bisa lebih lama.
Kedua, multitasking juga berbuah risiko menciptakan kesalahan yang lebih besar. Potensi error-nya tinggi. Salah satu profesi yang dilarang untuk multitasking adalah pengawas menara bandara. Bahkan mereka wajib beristirahat per 25 menit saat bertugas. Biar bisa fokus, gitu loh.
Ketiga, multitasking itu bisa menguras will power. Apa itu will power? Singkatnya, will power itu adalah bahan bakar otak. Kalau will power itu habis, kita akan mudah tersinggung atau marah. Senggol bacok, nih! 😀
Hal di atas umum terjadi pada ibu rumah tangga. Juga ibu bekerja di luar rumah yang ketika pulang bekerja masih harus berjibaku dengan keriweuhan rumahnya.
Solusi Agar Multitasking Tidak Membelenggu
Kenyataannya, memang tugas para ibu itu tidak cuma satu. Yekan? Beragam tugas menunggu untuk diselesaikan. Lalu bagaimana caranya untuk meminimalisir multitasking?
1. Membuat Visi yang Terintegrasi
Sebagai manusia yang tidak egois, kita jangan cuma visi pribadi saja. Ada empat aspek visi yang perlu kita buat, yaitu:
- Visi pribadi; kita ingin menjadi orang yang seperti apa?
- Visi keluarga; kita ingin menjadi ibu yang seperti apa? Mau dibawa ke mana keluarga ini?
- Visi profesi; kita ingin menjadi sosok profesional di bidang kita yang seperti apa?
- Visi kontribusi; kita ingin berkontribusi dalam hal/bidang apa, sih?
Keempat visi di atas sebaiknya saling terhubung dan terkait. Pada awalnya, visi-visi itu seperti terpisah-pisah. Namun, seiring berjalannya waktu sebaiknya kita bisa mengintregasikan keempat visi di atas.
2. Perlu Ada Aktivitas
Misalnya visi profesi seorang penulis adalah ingin menulis buku sejumlah sekian di usia sekian. Visi kontribusi bisa nyambung dengan visi profesinya. Selain mendapatkan penghasilan, bukankah menghasilkan buku itu juga termasuk berkontribusi dalam menyebarkan ilmu?
Jadi, dua visi yang terintegrasi di atas terwujud dengan adanya aktivitas untuk meraihnya yaitu menulis. Mimpi kali yee; punya visi besar tetapi dalam keseharian tidak ada aktivitas yang terhubung dengan visinya.
*Plaakk… enggak, tuh? 😛
Untuk menentukan apakah visi itu kita anggap penting, lihatlah pada alokasi waktu yang kita gunakan. Kalau alasannya tidak ada waktu melulu, patut dipertanyakan tuh visinya.
Oke, fine. Harus mewujudkan visi dengan aktivitas.
Eh, ada lagi tantangannya!
3. Memilah Aktivitas
Tantangan lain itu adalah adanya aktivitas kita yang terlalu banyak, tetapi tidak dipilah-pilah. Seharusnya, kita wajib menggolongkannya. Mana nih aktivitas penting yang harus dikerjakan sendiri, mana aktivitas yang tidak penting amat, atau aktivitas yang sebenarnya bisa didelegasikan ke orang lain.
Nah, banyak juga kejadian tentang orang yang sudah punya visi, punya niat yang kuat, lalu menjalani aktivitas sesuai visinya. Namun, lambat laun aktivitasnya jadi ‘berbelok’.
Misalnya, ada seorang penulis yang sudah berancang-ancang menulis buku solo, tetapi draft tulisannya jadi mangkrak karena di tengah jalan ingin belajar ini dan itu.
*Hiks, jadi ingat kegagalan diri sendiri tahun kemarin yang ingin menulis buku solo kedua 😛
Ah, jadi diingatkan bahwa kita tuh perlu memusatkan perhatian pada satu hal yang paling penting. Kalo terus-menerus ‘bercabang’, visi kita pasti jadi lambat tercapainya. Harus ada keberanian dan ketegasan untuk bilang tidak, nih!
3. Jumlah Goals yang Ideal
Setiap manusia tentu saja punya kapasitas yang berbeda dikarenakan ilmu dan keahlian yang tidak sama. Dengan kapasitas itu, masing-masing kita bisa meraih goals kita dengan rentang waktu sebentar ataupun lama. Dengan capaian yang tampak mentereng maupun terlihat biasa-biasa saja.
Namun, ada jumlah goals ideal yang bisa diterapkan kepada siapa saja secara umum. Pertengahan, gitu loh. Di dalam buku 4 Disiplin Eksekusi yang ditulis oleh Sean Covey, terdapat istilah ‘hukum hasil yang berkurang’. Apa maksudnya?
Jadi, energi waktu kita ‘kan terbatas. Karenanya, goals yang ideal itu adalah 2 sampai 3 goals dalam jangka waktu tertentu secara bersamaan. Misalnya, kita punya goals 2 sampai 3 saja yang serius ingin kita raih, sama-sama dalam kurun waktu setahun. Menurut Sean Covey, 2 sampai 3 goals tersebut bisa tercapai secara excellent alias mendekati sempurna.
Namun, jika kita punya 4 sampai 10 goals, maka yang bisa dicapai secara excellent hanya sekitar 1 saja. Jika lebih dari 10 goals, malah tidak ada yang bisa dicapai. Hufft…
Kenapa? Sekali lagi, angka optimal goals ideal itu memang di 2 sampai 3. Jika kebanyakan, energi kita akan habis, bercabang ke mana-mana.
Hindari Kegagalan Resolusi 2022!
Sebenarnya, kegagalan mewujudkan resolusi itu normal saja, sih. Menurut Mas Aji –berdasarkan riset para ahli- , ada 88% orang yang tidak berhasil mencapai resolusinya di akhir tahun. Hanya sekitar 12% orang yang berhasil.
Jika diuraikan lebih lanjut, ada 29% orang melupakan resolusinya di dua pekan pertama. Lalu, ada 36% orang yang lupa pada resolusinya pada satu bulan pertama. 54% orang lalu menyerah dalam mewujudkan resolusinya pada 6 bulan pertama. Dalam setahun, ada 88% orang yang sudah lupa, tuh! 😀
Faktor penyebabnya ada banyak. Misalnya karena resolusi itu tidak ditulis jadi mudah saja dilupakan. Seperti kaidah out of sight, out of mind. Bener banget, nih. Jadi jangan percaya dengan lupakanlah tujuan, biar alam bawah sadar yang bekerja!. Enggak bisa begitu, atuh!
So, ini dia tiga poin yang biasanya menghambat resolusi kita:
1. Resolusi yang Tidak Konkrit dan Spesifik
Misalnya, seseorang punya niat hidup lebih sehat di awal tahun. Kurang jelas, tuh! Hidup lebih sehat yang model begimane dah? Seharusnya, ada ‘turunannya’, seperti: jalan kaki 30 menit bakda subuh. Kan lebih jelas tuh action plan-nya.
Contoh lain, misalnya seorang penulis ingin menghasilkan 2 buah buku baru di tahun 2022. Action plan-nya bisa dengan menulis 1000 kata atau 2 halaman setiap hari.
Jadi, jangan hanya gambaran obyektif tanpa wujud spesifik berupa action plan. Biasanya resolusi yang model begini nih tidak akan berjalan. Ya, otak jadi bingung tentang apa mau kita. Tiba-tiba saja waktu terus berjalan. Eeh, tidak ada satu pun resolusi yang dicapai.
Jangan lupa, action plan pun sebaiknya tidak terlalu banyak. Rumusnya: 2 sampai 3 action plan, ya.
2. Motivasi yang Luntur
Di awal bulan begitu bersemangat. Lambat laun kok mager, hehe. Apalagi jika merasakan bahwa hidup pun baik-baik saja ketika resolusinya jalan di tempat. Gawat!
Kehilangan motivasi ini bisa menyebabkan kita membenturkan antara self-acceptance (penerimaan diri) dengan self-development (pertumbuhan diri). Seakan-akan keduanya saling bertentangan. Padahal, kita tidak bisa bertumbuh jika kita belum bisa menerima diri sendiri dulu.
Solusinya, terima deh fakta bahwa kita sedang kehilangan motivasi. Acceptance! Berlanjut dengan evaluasi di 2 pekan pertama; apa alasan saya menyusun resolusi ini. Bisa dengan journaling setiap hari.
Lalu, baca ulang tulisan tentang resolusi 2022 yang sudah kita susun itu sepekan sekali. Ingat, niat itu seperti iman yang naik-turun. Dengan itu, diharapkan niat dan motivasi kita bisa tetap terjaga. Diperbaharui, gitu loh.
3. Tidak Punya Sistem Pendukung
Sistem pendukung atau support system ini penting. Misalnya saat kita kehilangan motivasi, ada orang yang memberi semangat. Ketika kita tidak mengerjakan apa yang sudah kita rencanakan, ada orang yang bantu mengingatkan dan memonitoring.
Jadi, bangunlah sistem pendukung itu. Punyailah mentor sebagai tempat bertanya saat kita menemui kesulitan dalam mewujudkan resolusi. Milikilah teman atau komunitas yang bisa menyemangati ketika kita sedang down.
Kesimpulannya, jika kita bisa mengatasi tiga poin yang menjadi penghalang di atas, insya Allah resolusi 2022 kita akan berjalan dengan baik.
Prokrastinasi dan Resolusi 2022
Kita sudah masuk di tahun 2022, nih. Salah satu ‘penyakit’ yang wajib kita waspadai dalam mewujudkan resolusi 2022 adalah prokrastinasi atau menunda-nunda. Terlebih dahulu, kita perlu tahu akar dari menunda-nunda ini.
Pertama, akar dari prokrastinasi adalah karena perfeksionisme. Bentuknya berupa perasaan belum layak untuk memulai dan menyelesaikan karena belum sempurna.
Misalnya, kita baru mau menulis saat sudah punya laptop. Padahal, menulis via ponsel atau tablet itu tidak ada salahnya, sih. Akibatnya, kita jadi diam di tempat, deh. Tidak kunjung memulai.
Kedua, adanya rasa takut akan persepsi orang lain. Misalnya, kita takut penilaian orang ketika kita mengalami kegagalan. Atau juga kita takut jika hasil karya kita dianggap tidak layak. Itu adalah bentuk ketakutan yang sebenarnya tidak perlu.
Dua hal di atas adalah jika dilihat dari ‘akar’. Sementara, kalau dilihat dari yang tampak di permukaan, penyebab prokrastinasi itu karena menganggap hal yang dikerjakan itu tidak menyenangkan. Misalnya, menunda menyeterika baju 😀 Itu kerjaan yang sebenarnya tidak menyenangkan, bukan? So, tunda aja, deh!
Eits… Padahal tidak menyenangkan dan berat itu sebenarnya hanya kelihatannya saja. Hanya yang tampak di permukaan, kok. Ketika dikerjakan, ternyata asyik-asyik saja, tuh.
Yuk, Wujudkan Resolusi 2022!
Gimana nih, teman-teman? Sudah menyusun resolusi 2022, bukan? Setelah tahu tips dan trik seperti di atas, segera saja wujudkan! Jangan lagi menunda-nunda, ya! Jalannya memang panjang dan berliku. Semoga kita berhasil mencapai finish sampai akhir tahun nanti.
Ingat: mulai saja dulu, sempurnakan kemudian!
Salam,