Pada suatu pagi, sekitar 7 tahun yang lalu…
“Mbak Tatiek kok bisa sih cuma sarapan roti begitu?” seorang rekan kerja saya penasaran dengan salah satu kebiasaan makan pagi ala saya.
“Hehe, ya bisa-bisa aja. Roti ‘kan karbohidrat juga dan bisa mengenyangkan,” jawab saya sambil tersenyum.
“Oalah, Mbak. Saya pasti sudah pingsan kalau tidak makan nasi. Harus! Yaa, minimal saya harus makan tiwul, makanan khas daerah saya,” lanjutnya sambil menyebut daerah asalnya.
Bla… bla… bla…
Begitulah. Sounds familiar, right?
Saya tentu saja memaklumi kebiasaan dan kepercayaan rekan saya itu. Ya, sebagaimana prinsip (mungkin) sebagian penduduk negeri ini yang belum merasa afdhal menyebut diri sudah makan jika belum makan nasi.
Saya pun sejak kecil begitu. Ibu saya termasuk emak yang membiasakan anaknya untuk sarapan pagi memakai nasi, baik nasi putih atau nasi goreng. Pernah juga dengan nasi uduk atau nasi kuning di waktu-waktu tertentu, misalnya sedang hajatan. “Masak besar” sekalian untuk menu makan keluarga.
Berubahnya Kebiasaan Lama
Namun, kebiasaan sarapan memakai nasi itu mulai bergeser saat saya merantau untuk bekerja di Batam pada tahun 2000. Budaya penduduk setempat ternyata sangat berpengaruh terhadap kebiasaan sarapan saya. Maka saya pun jadi terbiasa sarapan memakai roti dan donat.
Alkisah, di kawasan tempat saya bekerja, ada sebuah toko roti yang dagangannya laris manis tanjung kimpul. Jauh sebelum J.C* “menyerang” Indonesia pada tahun 2006, anak-anak kampung seperti saya dan teman-teman buruh muda, telah terbiasa sarapan roti dan donat lezat. Ada yang disantap di tempat sambil menikmati secangkir kopi susu, ada pula yang di-take away.
Gengsi ikutan naik, dong. Hihihi… Kalau di kampung halaman “cuma” bisa sarapan singkong rebus, di Batam sana kami bebas mau menyantap roti dengan bentuk dan rasa apa saja. Seakan tak ada sekat antara para boss dan para buruh: makanannya sama. Ada bedanya, sih. Para boss bisa sarapan roti setiap hari, sedangkan kami (biasanya) puasa roti dan donat enak di tanggal tua. Hehe.
Sementara itu, saya mulai menyukai pempek melalui teman-teman saya yang berasal dari Palembang. Padahal saat di Malang, saya tidak tertarik blass dengan makanan berbahan daging ikan dan tepung tapioka itu. Nah, teman-teman saya itu tak hanya bisa makan, mereka rata-rata bisa membuat pempek sendiri.
“Kalau sudah sarapan pempek begini, ya sudah,” ucap salah seorang teman saya itu. Sebuah ucapan yang kemudian saya tiru. Ketika akhirnya saya jadi ngefans dengan pempek, banyak waktu sarapan pun saya lewatkan bersama si kapal selam dkk. Saya pun jadi bisa membuat Pempek walaupun tidak mirip-mirip amat dengan aslinya. Namanya juga Pempek Malang ๐
Menu lain pengganti nasi putih saat sarapan adalah Cuanki Bandung dan Bubur Ayam Jakarta. Dua menu yang selalu ada setiap pagi di warung dekat gerbang perumahan kami. Lagi-lagi pengaruh kebiasaan masyarakat setempat membuat saya punya beragam pilihan sarapan. Enak-enak semua, siapa yang menolak?
So, tidak sarapan nasi putih itu biasa saja bagi saya sejak dulu. Siang dan malam harinya (jika tidak puasa) tetap sih menyantap nasi putih, makanan pokok rakyat negeri ini. Bikin lupa diri jika nasinya didampingi Rendang Padang. Duh, khilaf. Rancak Bana soalnya.
Mulai Mengenal Food Combining
Pada tahun 2015, saya mulai mengenal pola makan Food Combining melalui seorang teman. Saya mempelajarinya dan memutuskan untuk menjadi pelaku Food Combining. Selain ingin lebih bisa mengendalikan nafsu makan, saya ingin juga memperbaiki metabolisme tubuh. Saat itu saya juga sedang berikhtiar untuk bisa hamil anak kedua. Food Combining konon bisa membersihkan “sampah tubuh” penyebab perempuan sulit hamil. Wallahu a’lam.
Menjadi pelaku Food Combining berarti saya tidak sarapan nasi putih di pagi hari. Berapa lama? Selamanya! Ya, selama menjadi Food Combiner, sarapannya memang hanya buah saja selama beberapa kali sampai pukul 12 siang. Diawali dulu dengan minum air jeniper alias jeruk nipis peras begitu bangun tidur. Lama-lama saya terbiasa dengan rasa masam si jeruk nipis.
Ini dikarenakan Food Combining ingin mengikuti Ritme Sirkadian tubuh dimana saat pagi hari, tubuh kita memiliki jadwal membuang “ampas tubuh”. Jangan memperberat bebannya dengan menyantap makanan yang akan memberatkan pencernaan. Begitu.
Baru deh nanti makan siang seperti biasa. Namun dianjurkan untuk mengkonsumsi nasi merah. Lalu, ada aturan bahwa karbohidrat tidak boleh dimakan bersamaan dengan protein hewani karena akan memberatkan sistem pencernaan. Enzim di lambung yang mencerna karbohidrat dan protein hewani itu berbeda sehingga kerja mereka bisa “tidak sinkron” jika bertemu.
Saya menjalani Food Combining dengan enjoy. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa hamil juga. Karena Food Combining? Wallahu a’lam. Yang jelas, saya tetap konsisten ber-Food Combining selama 9 bulan berikutnya, dari hamil muda sampai hamil tua. Bahkan sampai di hari-H saya harus dioperasi sesar, paginya saya masih rutin sarapan buah.
Tidak Lagi Ber-Food Combining
Alhamdulillah, si kecil lahir dengan sehat dan selamat pada tanggal 15 Agustus 2016. Ada wanti-wanti dari dokter bahwa saya tidak boleh pantang makanan apapun agar jahitan sesarnya cepat sembuh. Disarankan untuk lebih banyak mengkonsumsi protein hewani yang membantu mempercepat sembuhnya luka.
Jlebb… Padahal saat ber-Food Combining, saya minim sekali makan protein hewani dan lebih sering menyantap protein nabati. Aturan di Food Combining memang begitu. Namun, saat itu saya lebih menuruti saran dokter alias mulai tidak konsisten lagi ber-Food Combining. Masih terbayang saat saya setiap hari makan ikan gabus kukus berikut kaldunya. Sampai eneg! Tapi jahitan memang cepat kering dan cepat sembuh, alhamdulillah.
Saya pun kembali sarapan nasi putih saat menjadi busui. ‘Kan cepat lapar, tuh. Kadang diselingi juga dengan sarapan umbi-umbian atau cilok! Hehe… Kebiasaan itu teruuus berlangsung sampai si kecil menjelang 3 tahun.
Ternyata saya merasa ada “yang hilang”. Merasa kurang nyaman. Seperti ada yang salah dengan kebiasaan makan saya. Iya, sih saya makan teratur dan tidak pernah melewatkan sarapan. Ini prinsip penting, nih. Apapun pola makan kita, sarapan itu perlu! Baik dengan buah, nasi, atau jenis karbohidrat lain yang mengenyangkan. Hati-hati kena maag, prinsip saya waktu itu.
Tapiii… Dengan pola makan konvensional seperti ini kok rasanya tubuh saya semakin berat, ya? Ngantukan juga. Berat badan saya yang sebelum hamil “hanya” berkisar 48-49 kilogram tak kunjung saya temui lagi. Sulit banget mau menurunkan berat badan yang sudah bertambah menjadi 56 kilogram. Dengan tinggi badan 156 cm, saya merasa itu sudah sebuah kondisi bahaya!
Haruskah saya tidak sarapan nasi putih lagi? Balik lagi ber-Food Combining? Atau mencari tahu alternatif lain agar lebih sehat dan lebih fit dari sebelumnya?
To be continued ๐
Salam sehat,
#ODOPDay18
Sumber gambar: pexels
Sumber gambar: pexels