Jenis Buku: Antologi Fiksi Mini
Penulis: Tannia Margaret, dkk
Tahun terbit: Oktober 2017
Penerbit: Jejak Publisher
Jumlah halaman: 276 halaman
ISBN: 978-602-5455-52-0
Tetapi, beberapa orang beranggapan, bahwa kebohongan yang dibuat demi kebaikan itu boleh-boleh saja. Dan dari sinilah istilah White Lie muncul; kebohongan yang diperbolehkan demi sebuah kebaikan.
Selamat menikmati kebohongan… ^^
Saya tidak bisa menampilkan semuanya di sini. Saya sendiri berada di urutan 41, alhamdulillah. Pastinya harus ditampilkan, dong. Heuheu… |
Oleh: Tatiek Purwanti
Hari kedua puluh satu. Tangisan bayi, aroma minyak telon, dan kesibukan yang lebih padat di pagi hari.
“Abang Hafiz main sama Eyang Uti, yuk.” Bu Rohana membujuk cucunya agar menjauh dari Sabrina.
Bocah lucu berusia dua tahun itu akhirnya digandeng neneknya ke arah taman. Sebuah bola sementara bisa mengalihkan perhatiannya. Di dalam kamar, Sabrina, sang ibunda tengah menyusui adiknya yang sejak tadi rewel.
“Undangan aqiqah sudah beres kan, Yah?” Sabrina bertanya kepada Andy, suaminya. Sore bakda Ashar nanti mereka akan mengadakan hajatan aqiqah anak kedua mereka.
“Alhamdulillah, sudah semua. Termasuk teman-teman di perusahaan,” jawab Andy.
Ia memijit pelan punggung istrinya. Bayi merah di gendongan Sabrina akhirnya tertidur, kenyang.
“Tuh, kesempatan buat ikut tidur sebentar,” Andy menatap mata Sabrina. Masih terdapat ‘mata panda’ di sana.
Sabrina mengangguk. Sedikit tersenyum. Lalu mengambil posisi berbaring di sebelah bayi mereka.
Sesuatu yang sudah pernah dialaminya saat Hafiz masih bayi. Bulan pertama kelahiran adalah masa-masa begadang. Bayi belum mengenal pergiliran pagi dan malam. Maka orang tuanya akan terjaga juga jika si bayi mengajak ‘bercanda’ malam-malam.
Tapi ada yang sedikit berbeda bagi Sabrina kali ini; Baby blues. Sabrina hampir saja tidak kuasa melawannya. Beruntung suaminya cukup siaga. Juga bantuan dari ibu mertuanya yang bersedia menginap sebulan di rumah mereka.
***
“Normal atau sesar?”
Duh, pertanyaan itu lagi.
“Alhamdulillah, normal, Pak,” jawab Sabrina kemudian.
Andy menatap istrinya, diam saja.
“Baguslah,” sahut Pak Sasmito, kepala divisi di tempat Andy bekerja.
Ia dan istrinya berhalangan hadir di acara aqiqah kemarin. Hari ini mereka baru bisa menjenguk bayi Sabrina.
“Tiga anak saya lahir secara normal semua. Ya kan, Ma?” Pak Sasmito menoleh ke arah istrinya, Bu Intan. Perempuan pendiam itu mengangguk sambil tersenyum.
“Istri saya selalu menurut pada saya. Termasuk tentang meminum air rendaman rumput Fatimah, agar lancar ‘pembukaannya’. Pokoknya tidak boleh sampai operasi, agar perjuangan melahirkannya benar-benar sempurna,” lanjut Pak Sasmito.
Sabrina menggigit bibirnya. Andy mengetahui gelagat itu. Cepat dialihkannya pembicaraan ke topik yang lainnya. Tapi tetap saja, Pak Sasmito mendominasi perbincangan. Atasannya itu memang susah dihentikan jika sudah mengemukakan argumen-argumennya.
***
“Seharusnya para bapak itu belajar peka.” Sabrina mengeluh.
Sudah tengah malam. Bayi mereka tertidur beberapa menit yang lalu.
“Di saat para ibu berusaha menghindari Mom War, kenapa justru para bapak menyulutnya?” Sabrina tidak tahan. Dikeluarkannya segala uneg-uneg terkait kunjungan beberapa tamu mereka.
“Ya, ya… Ayah paham. Mungkin mereka…” Andy berusaha menenangkan istrinya.
“Pintar saja tidak cukup, seorang pria harus juga beradab,” potong Sabrina.
Matanya mulai berkaca-kaca. Andy merangkul istrinya. Dibiarkannya Sabrina melanjutkan keluhnya.
“Bunda menjalani sesar juga karena ada indikasi medis. Memangnya kenapa kalau sesar?” Sabrina bertanya, tapi tidak butuh jawaban Andy.
“Teman ayah yang satunya itu juga sama, si Pras.”
Andy mengangguk-angguk. Pras yang datang saat acara aqiqah juga melakukan offside. Masih diingatnya saat Pras bertanya apakah Sabrina akan kembali bekerja setelah melahirkan anak keduanya. Sabrina dan Andy sudah jauh-jauh hari bersepakat bahwa Sabrina akan resign dari pekerjaannya.
“Duh, sayang dong kalau Sabrina jadi pengangguran,” celetuk Pras waktu itu.
“Oh, saya berjualan online, kok,” jawab Sabrina.
Hatinya sungguh gusar dikomentari seperti itu. Seorang ibu dengan dua orang anak disebut pengangguran? Oh, come on!
“Nah, boleh juga itu. Istri saya selain bekerja juga hobi berjualan. Bla… bla… bla…” Pras meneruskan kalimatnya. Istri Pras yang duduk di sampingnya mengiyakan perkataan suaminya itu.
Sabrina tersadar dari flashback-nya.
“Ayah paham kan kalau Bunda tidak akan berjualan apapun saat ini?”
“Iya. Tidak apa-apa kok Bunda bilang seperti itu,” Andy mendukung kebohongan yang telah dilakukan istrinya.
Sabrina tidak berminat pada bisnis online sejauh ini. Cita-citanya adalah fokus pada dua buah hati mereka. Khususnya Hafiz yang selama dua tahun terakhir ini kurang mendapatkan perhatiannya.
***
Sabrina menaburkan bunga pada gundukan tanah kecil di hadapannya. Matanya basah. Haliza, putrinya, terbaring abadi di situ. Salah satu bayi kembarnya itu bertahan hidup beberapa jam saja di rumah sakit. Akhirnya, ia dan Andy hanya bisa mendekap Haidar, putra keduanya saat ini.
Masih diingatnya pertanyaan Riko, teman lamanya. Saat itu Sabrina mengunggah foto Haidar yang baru lahir di facebook sebagai profile picture-nya. Tanpa caption.
“Selamat, ya. Cowok apa cewek nih?” tanya Riko.
“Cewek,” balas Sabrina.
Sabrina sadar bahwa ia telah berdusta. Tapi sebenarnya tidak juga. Semata agar Riko tidak melanjutkan komentarnya dengan: “Cowok lagi? Nambah atuh, biar lengkap!”
-Selesai-